KE BALI
NIKMATI JUGA KOPINYA
Selain teh, kopi juga minuman favorit kita.
Buah kopi banyak ragamnya dan biasanya dinamai menurut asalnya.
Salah satunya kopi bali. Inilah sekelumit kisah perjuangan seorang
Djuwito Tjahjadi memperkenalkan dan menjagai mutu kopi bali.
Penulis : Wahyuni Kamah, di Jakarta
Jika Anda penggemar berat kopi atau sekadar penikmat, saat ke
Bali mampirlah ke Toko Bhi-neka Jaya di Jln. Gajahmada, Denpasar.
Di sini Anda bisa memilih beragam jenis kopi. Mau butiran (roasted
coffee), kopi tubruk (medium grind), kopi halus (fine
grind), kopi toraja, atau capucinno?
Kopi-kopi itu dikemas dengan menarik memakai bahan plastik, alumunium
foil, kaleng, karung, hingga batik yang tertata rapi. Anda yang
ingin membeli kopi bukan dalam kemasan dapat pula memilih kopi
dalam berbagai kisaran jenis dan harga. Pelayan akan siap menakarkan
untuk Anda dengan timbangan tradisional yang sudah ditera.
Bagi Anda yang ingin menikmati langsung cappuccino dan
espresso juga disediakan meja dan kursi. Pembeli rata-rata
merasa puas, karena bila Djuwito Tjahjadi ada di toko, ia sendiri
yang akan menjamu tamunya untuk mencicipi minuman yang bisa menggoyang
lidah itu.
Siapa sih Djuwito yang bisa menggoyang lidah orang melalui racikan
kopinya itu?
Promosi
gratis Nama pria berusia 84
tahun itu identik dengan kopi bali. Melalui
label "Kopi Bali The Butterfly Globe Brand", ia
menyebarkan aroma kopi dari Indonesia ke seluruh
dunia. Ia pun tepat memilih tempat, Bali. Maka,
kopi buatannya tak hanya digemari oleh
masyarakat Bali, tapi juga turis yang berkunjung
ke Pulau Dewata.
Dari mulut ke mulut para pengunjung dan
penikmat kopi di tokonya itulah nama kopi bali
dikenal. Tak kurang dari buku panduan turis
dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Jepang yang
bergengsi mencantumkan nama tokonya. Bahkan buku
panduan berbahasa Jepang dilengkapi fotonya.
Los Angeles Times di salah satu edisi
tahun 1992 pun mengulas kopi bali dalam sebuah
artikelnya.
Benang merah dari artikel dan juga promosi
dari mulut ke telinga tadi adalah kopi bali
memiliki mutu internasional dan terjamin
kebersihannya. Semua itu tersingkap tanpa
Djuwito harus mengeluarkan uang sepersen pun.
Pujian itu bukan omong kosong belaka. Bapak
lima putra dan satu putri ini harus bekerja
keras untuk mendapatkan cita rasa kopi yang
terbaik dan digemari. Saat muda ia sering
melancong ke luar negeri mencicipi kopi di
berbagai negara. Tak sekadar mencicipi, ia juga
membandingkan rasa dan mempelajarinya. Tak heran
kalau ia baru memperoleh cita rasa
cappuccino dan espresso yang pas
di lidah orang asing setelah tujuh tahun memilih
bahan kopi dengan usaha "coba dan salah".
Ia juga bekerja keras dan serius dalam
mengangkat nama kopi bali dan memasarkannya.
"Kita memiliki kopi sendiri, mengapa bukan itu
saja yang kita kembangkan?" begitu alasan pria
yang masih tampak fit dan segar ini.
Biji kopi mentah yang diolah pabriknya
berasal dari kebun kopi di Kintamani, Singaraja,
Baturiti, dan Pelaga. Masing-masing kopi
memiliki rasa yang berbeda, tergantung pada
tanah tempat ia ditanam. Pengetahuan tentang
kopi tidak didapatnya dari bangku sekolah, tapi
berkat pengalaman dan belajar langsung di
lapangan.
Setelah bahan bakunya, Djuwito kemudian
memikirkan prosesnya. Oleh karena itu ia
me-ninggalkan proses tradisional warisan
ayahnya, Bian Ek (dari sinilah nama tokonya
berasal). Kopi yang digoreng sendiri menggunakan
kompor dan peralatan dapur sederhana ia ganti
dengan mesin modern yang didatangkan dari
Jerman. Berbekal mesin itulah Djuwito
mempercayakan kematangan kopi dan juga
kebersihannya. Djuwito tidak mau menanggung
risiko akibat kopi bikinannya tidak higienis.
Ada cerita manis soal mesin yang didatangkan
sekitar tahun 1950-an itu. Tahun 1966 hotel
pertama di Bali, Bali Beach Hotel, dibuka. Sang
manajer yang berkebangsaan asing enggan
menggunakan kopi lokal untuk dihidangkan kepada
para tamu. Alasannya, kopi lokal tidak terjamin
kebersihannya.
Djuwito lalu mengajak sang manajer ke
pabriknya untuk melihat langsung mesin miliknya.
Baru setelah itu si manajer hotel bersedia
memakai kopi produksi Djuwito. Malah ia pun
mendidik Djuwito bagaimana cara mendapatkan kopi
berkualitas prima. Namun, entah kenapa pihak
hotel kemudian tidak memakai kopi keluaran
pabrik Djuwito lagi.
Kini Djuwito memiliki pabrik seluas 1,5 ha
yang berdiri sejak 1984 di Jln. Pulau Moyo,
Denpasar. Andai bisa berbicara, pabriknya pasti
bangga karena pernah dikunjungi Dr. Hubert S.
Koehler, direktur Worldwide Coffee Research,
pada 1995.
Koehler terkesan betul dengan kebersihan
dalam pemrosesan kopi bali. Lantai pabriknya
selalu dalam keadaan bersih. Para buruhnya pun
sudah terprogram untuk bekerja secara higienis.
Atas upayanya itu, pabrik Djuwito diganjar
penghargaan untuk keselamatan dan kesehatan
kerja dari Departemen Tenaga Kerja RI kala Abdul
Latief sebagai menterinya.
Melawan kopi
impor Pujian atas proses
pembuatan maupun produknya itu tidak membuat
Djuwito besar kepala. Ia malah terus berusaha
agar kopinya bisa memuaskan para penikmat kopi.
Makanya, ia terbuka kepada kritik, baik lisan
maupun tindakan. Maksudnya, jika ada kopi
produksinya yang rusak, "Silakan kembalikan.
Akan saya ganti berapa pun jumlahnya."
Dari kopi rusak versi pembeli tadi Djuwito
menelisik bagaimana kopinya bisa rusak. Bukannya
mau berkilah, kopi jarang dikatakan rusak.
Namun, umumnya selang setahun penyimpanan, rasa
kopi akan lain meski aromanya masih bertahan.
Selain menggunakan bahan mentah terpilih dan
diproses menggunakan mesin, ada kunci lain yang
membuat kopinya bisa menggoyang lidah orang:
tidak menggunakan campuran bahan kimia apa pun.
Ia sudah menyurvei bermacam cita rasa kopi dari
berbagai negara. Hasilnya, rasa yang hampir
serupa.
Menurut dia, itu karena mereka memakai essens
tertentu. Tapi, "Rahasia cita rasa kopi saya
adalah kesegaran kopi," aku Djuwito. Karena itu
ia tidak menyetok produksi agar tak rusak.
Prinsip Djuwito soal produksi kopinya adalah
"sedikit, tapi nendang". Atas dasar
itulah ia menolak penyalur di Jawa yang ingin
menjadi agen kopi bali. Pembelian partai besar
tak dilayaninya pula. Toh dengan pola seperti
itu Djuwito pernah tercatat sebagai pembayar
pajak perorangan terbesar di Bali.
Menyenangkan peminum kopi memang menjadi
targetnya. Pernah seorang peminum kopi dari
Australia berkomentar bahwa rasa manis kopi yang
diminumnya masih melekat di tenggorokan.
Padahal, ia telah meneguknya 15 menit lalu.
Kalau kemudian harga kopinya menjadi lebih
mahal, itu wajar. "Tapi itu masih lebih murah
dari harga kopi impor," tutur pria penggemar
jalan cepat ini. Di pasar swalayan, harga kopi
bali berkisar Rp 15.000,- - Rp 25.000,- per 500
g.
Demi menjaga kepuasan peminum kopi pula
Djuwito rela mencari kopi palsu dan menggantinya
dengan yang asli. Begitulah upayanya
menghilangkan batu sandungan bisnis kopinya.
Djuwito masygul melihat penggemar kopi bali
kecewa berat karena minum kopi yang bukan
buatannya. Ia pun menghimbau agar para pengusaha
tidak menjual barang palsu. Batu sandungan
lainnya adalah kopi impor. "Bertahan dari mereka
tidaklah mudah," akunya jujur.
Bertahan memang upaya yang sulit. Apalagi
Djuwito sudah tidak muda lagi. Karena itu, ia
kini dibantu oleh beberapa anaknya dalam
mengawasi bisnis kopinya. Lima dari enam anaknya
adalah lulusan Amerika Serikat dan Hongkong.
"Saya sudah tua, anak saya sudah bekerja
semua. Kalau saya membuat jalan yang bagus,
anak-anak meneruskannya gampang. Mereka tinggal
menjaga kualitas," ujar pria yang mengonsumsi
lebih banyak sayuran dan buah serta hidup
sederhana ini.
Cepat atau lambat ia harus meninggalkan
bisnis yang sudah digelutinya sekian lama.
|