SUARA PEMBARUAN DAILY

Melepas Senja di Kopenhagen

Oleh: Wahyuni Kamah

Kopenhagen, ibu kota Kerajaan Denmark, adalah kota berwajah banyak. Sebut saja, kota konferensi, kota pelabuhan, kota wisata, kota "dongeng", kota bisnis internasional, kota belanja, atau kota yang melegalkan pornografi.

 

Musim panas adalah waktu yang sangat tepat untuk mengunjungi ibu kota kerajaan yang dipimpin Ratu Margrethe II ini. Matahari yang baru tenggelam pukul 9 malam memberi waktu yang lebih lama untuk menjelajahi kota berpenduduk 1,6 juta jiwa ini. Penulis beruntung memiliki teman wartawan warga Kopenhagen, Pernille, yang mengajak penulis menelusuri sudut-sudut Kopenhagen.

Nyhavn

Mengasyikkan menghabiskan sore hari di Nyhavn yang terletak di kawasan kota, hanya beberapa ratus meter di selatan Istana Amalienborg-kediaman Ratu Margrethe II.

Nyhavn yang berarti Pelabuhan Baru menjadi ngetop karena kanalnya yang dibangun tahun 1673. Kawasan ini sering muncul di kartupos bergambar dengan rumah-rumah tua dari abad ke-18 yang menghadap kanal berdiri berdampingan satu sama lain dengan warna cat beraneka.

Di sepanjang kanal Nyhavn itulah kapal-kapal mewah kecil ditambatkan dan wisata kanal yang menyusuri kanal dan pantai di Kopenhagen diberangkatkan. Dua ruas jalan di Nyhavn yang dibelah oleh kanal dihubungkan dengan sebuah jembatan yang dapat diputus sambung.

Selama lebih dari 300 tahun Nyhavn memiliki reputasi yang miring. Inilah tempat para pelaut yang mendarat mengumbar kebebasan mereka. Dahulu, di sana ada banyak bar, rumah bordel, dan rumah tatto.

Namun, pada akhir 1970-an wajah Nyhavn berangsur-angsur mengalami perubahan. Sekarang, Nyhavn adalah tempat pertemuan yang popular bagi warga Kopenhagen. Rumah-rumah tersebut beralih fungsi menjadi restoran, bar, kafe, dan pub yang bergengsi dan mahal. Interior bangunan tidak diubah dan dibiarkan sebagaimana aslinya. Inilah yang menjadi ciri kebanyakan kafe dan pub di Kopenhagen yang menempati gedung tua, keaslian arsitektur bangunan tidak dijamah sama sekali. Di sela-sela kafe dan restoran di Nyhavn, kami masih menjumpai rumah-rumah tatto yang masih berfungsi.

Saat musim panas, Nyhavn sangat ceria, kursi dan meja digelar di udara terbuka membiarkan warga Kopenhagen disengat matahari musim panas saat mereka menikmati minuman atau makanan. Pengunjung restoran dan kafe tumpah ke jalan yang memang tidak dilalui kendaraan itu. Sambil bersantap, mereka dapat menyaksikan perahu-perahu yang berlayar di sepanjang kanal. Suasana terasa hangat dan santai.

Kebanyakan restoran di Nyhavn menyajikan makanan internasional atau Eropa, ada pula yang menyajikan hidangan khas Denmark seperti di Fisken, pub yang banyak kali memenangi penghargaan sebagai pub terbaik di Nyhavn.

Bukan Kopenhagen namanya jika tidak ada nilai sejarah. Di antara deretan rumah-rumah di Nyhavn, terdapat rumah yang pernah didiami oleh Hans Christian Andersen, penulis cerita anak yang terkenal. Di rumah nomor 20 Andersen menuliskan dongeng pertamanya tahun 1835 dan dua tahun sebelum kematiannya, Andersen menghabiskan sisa hidupnya di rumah nomor 18.

Nyhavn adalah salah satu tempat tujuan wisata yang mendapat status bintang tiga dari Guide Michelin, sebuah publikasi tahunan yang mengevaluasi restoran dan tujuan wisata di kota-kota dunia.

 

 

 

Radhuspladsen

Menjelang malam hari, dari Nyhavn kami berjalan kaki menuju Radhuspladsen melalui Strøget atau jalan untuk pejalan kaki di kawasan pertokoan tengah kota. Di balik kegemerlapannya, Kopenhagen adalah kota yang manusiawi. Di pusat kota dan daerah perkantoran, jalur untuk pejalan kaki dan sepeda demikian lapangnya, kadang-kadang di jalur itu diletakkan bangku-bangku.

Sentuhan manusiawi kota modern juga terlihat dari banyaknya pengemudi sepeda. Sepeda jengki yang dipandang sebelah mata oleh warga kota Jakarta, di Kopenhagen justru menjadi kendaraan pilihan generasi tua dan muda. Pertama kali, saya sempat heran melihat para perempuan kantoran di Kopenhagen dengan berpakaian mahal bersepeda ke kantornya, begitu pula dengan para prianya yang berdasi. Menteri Kerajaan Denmark kabarnya ada yang ke kantor dengan bersepeda. Sepeda memang menjadi kendaraan popular di Kopenhagen, selain praktis, memiliki jalur khusus di jalan raya, tidak kena biaya parkir, juga menyehatkan. Pernille sendiri juga ke mana-mana bersepeda. "Saya tinggal di tengah kota, jadi tidak perlu mobil," kata fotografer video yang memiliki apartemen di kawasan Norrebro ini.

Radhuspladsen adalah pelataran luas di muka Gedung Balai Kota Kopenhagen. Gedung tersebut selesai dibangun tahun 1905 setelah kebakaran tahun 1795 yang menghancurkannya. Inilah kawasan bisnis yang sibuk dan ramai di Kopenhagen, hotel-hotel ternama, kantor-kantor, berbagai kafe, pub, dan bar bertaraf internasional berada di sekitar sini. Melewati malam di Radhuspladsen berarti menyaksikan lampu-lampu warna-warni dari gedung-gedung di sekelilingnya yang tidak berhenti berkelap-kelip sepanjang malam.

Letak Radhuspladsen sangat strategis, hampir semua rute bus dalam kota melalui pelataran ini. Di sini pula terdapat pusat informasi yang menjelaskan tentang rute-rute bus kota di Kopenhagen dan sistem tiketnya.

Di sudut pelataran ini, tepat di tepi HC Andersen Boulevard terdapat patung sosok HC Andersen. Bila berada di sana dengan mudah kita melihat beberapa kelompok anak muda dari berbagai bangsa berkumpul, sekadar bercengkarama atau bersenda gurau dengan bahasa ibu mereka. Memang, Kopenhagen merupakan kota internasional, orang dari berbagai bangsa dengan mudah dapat dijumpai di kota ini. Imigran yang berasal dari Turki, Irak, Iran, Somalia, India, China dan beberapa negara Eropa Timur dan Balkan telah menjadikan Kopenhagen sebagai tempat tinggal mereka.

Rådhuspladsen juga menjadi ajang serba guna. Pertunjukan seni atau panggung terbuka sering digelar di sini. "Tempat ini cukup popular bagi warga Kopenhagen termasuk kaum gay untuk melangsungkan upacara perkawinan," ujar Pernille lagi.

Meskipun malam telah larut, warga kota masih lalu-lalang dan belum beranjak dari beberapa bangku yang memang disediakan di situ. Kursi-kursi di kafe di tengah-tengah pelataran masih dipenuhi pengujung.

 

 

 

Night Life

Hiburan pada malam hari, Kopenhagen adalah "surga"-nya. Dari April hingga Oktober ada Tivoli Garden di kawasan Vesterbro, yang tidak jauh dari Radhuspladsen. Taman hiburan nan gemerlap dan indah ini merupakan perpaduan pasar malam dan berbagai pertunjukkan seni untuk segala usia. Tivoli Garden dibuka sejak tahun 1843 dan baru Jepang-lah yang mampu menirunya. Malam hari, Tivoli dihiasi dengan lampu warna-warni yang cantik. Di sini, sering kali diadakan pertunjukan musik hidup dan seni gratis. Permainan yang memacu jantung, taman bermain anak-anak, dan juga berbagai restoran yang menyajikan menu internasional juga tersedia.

Klub, pub, bar, dan kafe berbagai jenis semuanya ada di Kopenhagen. Terutama di Vesterbrogade, pub dan kafe tidak hanya menawarkan hidangan atau hiburan yang menarik, tapi juga interiornya dibuat sangat unik. Di Baron & Baroness, misalnya, pengunjung dibawa ke suasana abad pertengahan, dengan interior kastil Inggris, langit-langit berukir, tiang-tiang yang tinggi, dengan aksesori seperti meriam, pedang, dan juga ksatria berbaju besi terpajang di dalamnya

Ya, begitu banyak pilihan hiburan malam di Kopenhagen: kafe nyaman untuk sekadar minum atau makan, diskotik yang bebas asap rokok, klub dansa hardcore, bar yang sesak dengan asap rokok, bar khusus kaum gay dan lesbian, diskotik musik rave, klub pertunjukan tari telanjang, semua terpapar, tanpa kamuflase atau sembunyi-sembunyi.

Banyak orang mengidentikkan Denmark dengan pornografi. Hal itu benar adanya, mengingat tahun 1969, Denmark adalah negara Barat pertama yang melegalkan penerbitan pornografi. Hingga sekarang pun Denmark tetap "bebas", sebagai contoh, tidak memberikan batasan untuk orientasi seksual seseorang, membolehkan perkawinan sejenis sehingga, tidak heran, bila Kopenhagen dijuluki, "the most friendly gay city in the world".

Vesterbro, seperti juga Norrebro, adalah kawasan pemukiman kaum imigran di Kopenhagen. Daerah ini adalah tempat pemukiman kaum pekerja ketika Kopenhagen mengalami arus urbanisasi. Kedua wilayah ini selalu dijadikan referensi untuk mencari restoran makanan etnis yang relatif murah. Restoran yang menjual masakan dan makanan Timur Tengah yang dikelola oleh warga imigran asal Timur Tengah sendiri memang banyak dijumpai di sini. Adalah pemandangan umum banyak toko dan restoran bertuliskan aksara Arab: kebab, makanan halal, daging halal. Rata-rata, restoran ini buka sampai lewat tengah malam, terutama di Vesterbro. Selain kaum imigran, mahasiswa juga banyak yang memilih kawasan ini sebagai tempat tinggalnya karena murah dan heboh. Benar, siang hari, Vesterbro terlihat normal. Orang berbagai bangsa lalu-lalang di tempat ini. Tapi, pada malam hari, Vesterbro "beralih" menjadi kawasan lampu merah. "Dunia" pornografi terpusat di sini, toko-toko yang menjual pornografi dari kaset video, majalah hingga aksesori, sampai dengan pekerja seks komersial wanita dari berbagai warna kulit.

Kami menyusuri kawasan yang temaran ini menjelang tengah malam. Saya tidak melihat pekerja seks yang sedang menawarkan diri di tepi jalan. "Tidak seperti yang kamu bayangkan, bukan?" kata Pernille sambil tersenyum. Satu-dua orang lelaki terlihat keluar masuk toko pornografi atau melihat-lihat display klub yang ada di sepanjang jalan itu.

Ada pekerja seks kulit hitam yang sedang tawar-menawar dengan pria kulit putih, ada pemabuk yang "ngoceh" tanpa arah lewat sempoyongan, pemandangan yang terlihat adalah kelap-kelip lampu toko-toko seks dan club di sepanjang jalan itu. Pintu restoran dan toko kelontong yang lengkap yang dikelola warga imigran masih terbuka lebar. Malam ternyata masih panjang. Suasananya memang tidak heboh dan hingar-bingar seperti yang saya bayangkan. Tapi, itulah bagian dari nightlife di Kopenhagen.*