Bagian 1: Desa Begaganlimo, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur
Trowulan
Cuaca di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur memang unik, pada musim hujan sekali pun, sengatan mataharinya pada pagi hingga siang hari cukup membakar. Seakan-akan hujan yang menyapu wilayah itu dari petang hingga malam hari tidak berbekas.
Meskipun cuacanya terik, bentang alam wilayah Kabupaten Mojokerto khususnya di Kecamatan Trowulan kebanyakan adalah lahan hijau pertanian yang menyegarkan mata. Lahan-lahan luas tersebut ditanami padi, tebu, atau jagung yang sebagian bersinggungan dengan pemukiman warga.
Ekonomi kabupaten yang beribukota Kota Mojokerto tersebut selalu berdenyut, karena menjadi perlintasan kendaraan antarkota di Jawa Timur, seperti Surabaya, Malang dan kota-kota kecil di sekitarnya Blitar, Tulungagung, Jombang, dan Kediri. Ditambah lagi, di sisi barat daya Kabupaten Mojokerto yang berbatasan dengan Kabupaten Jombang telah berdiri pabrik-pabrik besar. Untungnya, bagian selatan dari kabupaten yang luasnya kurang lebih 969 kilometer persegi itu adalah dataran tinggi yang masih menawarkan hawa teduh.
Pak Eko, tuan rumah dari homestay tempat saya bermalam, menganjurkan saya untuk menikmati bagian Kabupaten Mojokerto yang sejuk. Saya pun berangkat dengan diboncengi sepeda motor menuju Kecamatan Gondang yang terletak di selatan Trowulan.
Saya bepergian di bawah naungan langit Trowulan yang tidak berawan. Sinar matahari cukup panas, tapi udaranya tidak kotor-kotor amat seperti di kebanyakan kota-kota besar lain. Pemandangan yang dilalui selain lahan hijau pertanian juga pemukiman warga yang tidak rapat-rapat jaraknya. Sebagai kota perlintasan, motor manual yang dikemudikan Pak Pitono tidak jarang berpapasan dengan truk-truk atau pun mobil angkutan terbuka dari kota-kota sekitar yang mengangkut kebutuhan logistik.
Sepanjang perjalanan saya melihat papan-papan penanda situs-situs sejarah dan purbakala. Mojokerto memang “gudangnya” situs purbakala. Letak situs-situs tersebut juga menyebar di banyak penjuru kabupaten. “Ini belum seberapa, masih banyak yang belum tergali,” ujar Pak Pitono yang juga aktif di bidang pelestarian situs di Kabupaten Mojokerto.
Wilayah Mojokerto diyakini sebagai bekas Ibukota Kerajaan Majapahit salah satu kerajaan besar di Nusantara yang berkuasa dari abad ke-13 hingga ke-15. Jadi, tidak heran jika di tanah Mojokerto banyak terkubur peninggalan dan artefak dari Kerajaan Majapahit.
Desa Begaganlimo
Sepeda motor mengarah ke selatan menuju Kecamatan Gondang, satu dari 18 kecamatan di Kabupaten Mojokerto. Perjalanan ke sana sangat menyenangkan karena sepanjang kanan kiri jalan mata disuguhi dengan pemandangan hijau yang lapang berupa sawah dan juga ladang. Jalan desanya beraspal dan sebagian terlihat baru dibeton.
Semakin mendekat ke tujuan, perbukitan yang berjejer tegak tampak semakin jelas. Dari kejauhan, puncaknya terlihat tertutup kabut putih. “Di atas mungkin hujan,” kata Pak Pitono yang sudah beberapa kali mengantar pengunjung ke Desa Begaganlimo. Sebagian wilayah Gondang memang berada di tepi hutan lereng Pegunungan Arjuno-Welirang.
Kami memasuki wilayah Desa Begaganlimo setelah kurang lebih satu jam berkendara. Sepeda motor pun melaju di Jalan Desa Kalikater yang menanjak dengan pemandangan sawah, ladang, dan sungai yang indah.
Begitu ujung jalan aspal Desa Begaganlimo berakhir, Pak Pitono meminta saya turun dari sepeda motor. Sebab, kami akan memasuki jalan tanah menuju hutan. Saya pun enggan menaiki motor melalui jalan tanah yang sempit di semak-semak. Sandal gunung saya menapaki rerumputan yang sedikit basah, jejak ban sepeda motor terlihat di jalan setapak. Penduduk setempat yang mencari rumput memang sudah biasa keluar masuk hutan menggunakan sepeda motor.
Sementara saya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, Pak Pitono menitipkan sepeda motornya di warung kecil yang merupakan warung terakhir sebelum memasuki hutan.
Desa Begaganlimo berbatasan langsung dengan wilayah hutan Perhutani yang dikelola Perum Perhutani dan Taman Hutan Raya Raden Soerjo yang dikelola Dinas Kehutanan.
Memasuki kawasan hutan, lubang hidung saya disambut dengan udara yang sangat segar. Telinga saya dimanjakan dengan suara serangga dan nyanyian burung yang bersahut-sahutan, ditambah, gemericik dari aliran anak sungai yang tidak putus-putus. Pepohonan di buffer area itu tidak tumbuh rapat-rapat sehingga memudahkan jarak pandang. Rerumputan, perdu, dan tanaman keras tumbuh berdampingan. Yang menarik, saya menjumpai banyak pohon durian yang buahnya bergelantungan. Semakin masuk ke dalam hutan, pohon-pohon kayu keras yang dijumpai tampak lebih menjulang tinggi dan rapat tumbuhnya.
Situs Begaganlimo
Pak Pitono mengarahkan saya untuk melewati susunan batu-batu andesit besar yang tertata seperti anak tangga yang menanjak. Susunan batu-batu tersebut dikenal sebagai Situs Watu Bancik. Susunan batu tersebut terus menanjak seakan-akan menuju satu tempat tertentu. Jalur tersebut diperkirakan panjangnya kurang lebih lima kilometer. Nun jauh sebelumnya, hutan di Pegunungan Arjuno-Welirang ini diperkirakan sebagai tempat menyepi para pembesar kerajaan Majapahit. Menurut buku Warisan Budaya dan Potensi Wisata Desa Begagan Limo Warisan Budaya dan Potensi Wisata Desa Begagan Limo yang ditulis oleh tim Universitas Kristen Petra Surabaya, Situs Watu Bancik diperkirakan sebagai infrastruktur transportasi Kerajaan Majapahit.
Jalur berbatu yang saya tanjaki itu dinaungi kanopi pepohonan yang tumbuh di sekitarnya. Setelah menanjak kurang lebih 90 meter, kami tiba di pelataran yang sedikit datar. Di situ saya melihat papan besar bertuliskan Situs Begaganlimo yang sudah terdaftar di Balai Pelestarian Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Tidak jauh dari papan tersebut terdapat reruntuhan batu yang disusun bertumpuk dan terpisah-pisah. Bentuk bebatuan tersebut rata-rata segi empat, ada juga yang berbentuk elips meskipun tidak rata. Susunan batu-batu itu dinaungi terpal plastik.
Ada beberapa versi cerita tentang Situs Begaganlimo. Buku Warisan Budaya juga menyebut bahwa situs tersebut merupakan tempat penyimpanan benda pusaka dan harta kekayaan Kerajaan Majapahit dan juga diperkirakan sebagai pesanggrahan (peristirahatan) Maha Patih Gajah Mada (Kerajaan Majapahit) dan pasukannya dalam mengejar Patih Dalem Majapahit Haryo Sadengan yang menculik Putri Windu Dewi. Sementara itu, Pak Pitono menyebutkan bahwa situs tersebut diduga merupakan tempat para pembuat obat-obatan dari Kerajaan Majapahit. “Letaknya yang di tengah hutan memudahkan para pembuat obat mendapatkan bahan-bahan mentah,” katanya.
Sejarah Begaganlimo
Syahdan, sebelum ada Desa Begaganlimo, sebuah desa bernama Sentono sudah berdiri jauh di pedalaman tengah hutan. Desa tersebut berada di perbatasan antara wilayah bekas Kerajaan Majapahit (sekarang Kabupaten Mojokerto) dan bekas Kerajaan Singhasari (sekarang Kabupaten Malang). Tidak heran, jika banyak ditemukan situs di dalam hutan, Desa Sentono sendiri sekarang sudah lenyap.
Buku Warisan Budaya menulis bahwa nama Begaganlimo diduga berasal dari kisah ketika lima orang anggota pasukan Pangeran Diponegoro mendatangi wilayah hutan tersebut. Mereka menghindari pengejaran tentara Belanda. Pengikut Pangeran Diponegoro lari ke arah timur dan menemukan tempat persembunyian di sekitar Pegunungan Arjuno, Welirang dan Kawi. Seperti diketahui Perang Diponegoro (1825-1830) berlangsung di wilayah tengah Pulau Jawa antara Pangeran Diponegoro dan tentara Belanda.
Kata Begagan diyakini berasal dari kata bhagawan yang mengacu pada kelima orang tersebut yang dianggap memiliki kehebatan. Kelima begawan itu kemudian berpencar dan membuka padepokan masing-masing, salah seorang dari mereka menjadi pendiri Desa Begaganlimo.
Akar Seribu
Setelah beranjak dari Situs Begaganlimo, Pak Pitono mengajak saya untuk melanjutkan perjalanan melihat pohon akar seribu. Jalan menuju pohon tersebut berupa setapak tanah yang cukup rata tapi sedikit becek sisa-sisa terbasuh air hujan. Kami melewati pepohonan yang lebih rimbun dan lebat, karena kami sudah masuk wilayah hutan. Kami juga menyeberangi jembatan di atas anak sungai. Sekitar limabelas menit kemudian kami pun tiba di lokasi tumbuhnya pohon yang dikenal dengan sebutan akar seribu tersebut.
Dari kejauhan, si akar seribu sudah terlihat menonjol dibandingkan dengan pohon-pohon di sekitarnya. Akarnya memang mencolok terlihat berjenjang dan memiliki banyak anakan, tidak aneh bila dibilang pohon akar seribu. Dahan-dahannya di atas juga menggurita seakan membentuk payung.
Ketika kami datang beberapa petugas Perhutani sedang beristirahat di pelataran dekat pohon. “Ini jenis pohon ficus,” kata seorang petugas. Tapi ia tidak tahu persis berapa ketinggiannya. Pohon tersebut ditemukan oleh tujuh warga desa tahun 2014 dalam keadaan ditutupi rumpun pohon bambu yang mengelilinginya. Mereka lalu membersihkan pohon-pohon bambu di sekitarnya tersebut dan melaporkannya ke Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur.
Sejak 2015, pohon akar seribu telah menjadi obyek wisata alam. Di samping pohon mengalir anak sungai yang masih jernih. Ada juga pondok kecil di dekatnya. Akar seribu ramai dikunjungi pada hari-hari tertentu, seperti Hari Raya atau Tahun Baru. “Ada pengunjung yang menghabiskan tahun baru di sini dengan bertenda,” kata Pak Pitono lagi.
Lokasi pohon terbilang di tengah hutan dan sudah di pinggang pegunungan dan mendung mulai menggantung ketika kami tiba di sana. Sebaiknya memang datang ketika masih pagi, sebab menjelang siang, langit sudah mulai gelap. Biasanya sore hujan turun yang menyebabkan jalur jalan setapak menjadi licin.
Kawasan Kecamatan Gondang, tepatnya Desa Begaganlimo memang pas untuk menyejukan diri dari wilayah Trowulan yang terbilang panas.
Catatan:
Perjalanan ke Desa Begagan Limo hanya dapat dilakukan dengan kendaraan pribadi karena tidak ada angkutan umum. Jika ingin menyewa kendaraan pastikan bukan kendaraan dengan mesin matic karena jalan ke sana cukup menanjak. Mengingat hutan di Desa Begagan Limo banyak sisa petilasan Kerajaan Majapahit atau Kerajaan sebelumnya, sebaiknya ketika berkunjung ditemani pemandu lokal yang mungkin dapat diminta di Balai Desa Begaganlimo. Informasi yang diberikan akan beragam karena situs-situs tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, sedangkan informasi yang tertulis masih belum banyak.