Desa Adat Kampung Pasir
Tidak sulit menemukan gang untuk masuk ke Desa Adat Kampung Pasir di Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat, ketika saya mendatanginya untuk kedua kali. Penandanya terlihat jelas. Di mulut gang yang bermuara di jalan raya Cikamiri itu menjuntai penjor, simbol bahwa sedang ada perayaan di dalam gang. Saya meminta pengemudi mobil yang saya sewa untuk berhenti. Terlihat beberapa mobil diparkir di tepi jalan. Seorang lelaki yang bertugas menyambut tamu menghampiri mobil yang saya tumpangi. “Saya Wahyuni dari Jakarta, tamu Kang Caca,” ujar saya langsung memperkenalkan diri ketika turun. Tidak lama, Kang Caca muncul. Sambil menyapa, ia langsung membantu membawakan tas saya.
Sekitar enam bulan sebelumnya, Kang Caca menjemput saya dengan sepeda motor dari Stasiun Kota Garut. “Takut nanti nyasar,” begitu alasannya menjemput saya. Sebelumnya saya memang sudah berkomunikasi dengan Caca Soekarsa, 43 tahun, yang berperan seperti public relation bagi Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan yang tinggal di Desa Adat Kampung Pasir. Ketika itu, dalam lawatan ke Kota dan Kabupaten Garut, saya memang sengaja mampir di Desa Adat Kampung Pasir, yang secara geografis berada di Desa Cintakarya.
Jarak Kampung Pasir kurang lebih 9 kilometer di sebelah barat Kota Garut. Ketika datang pertama kali, saya langsung diajak menuju Balai Atikan, bangunan utama di Desa Adat Kampung Pasir. Saya diterima oleh Abah Endan yang menjadi pupuhu (ketua) adat dan beberapa anggota masyarakat. Sambutan mereka hangat dan bersahaja bagi orang yang baru pertama kali datang ke Desa Adat mereka. Sebagian besar masyarakat Desa Adat Kampung Pasir menghayat ajaran Pikukuh Sunda. Jumlah mereka ada 312 jiwa dengan 86 kepala keluarga. Begitulah perkenalan pertama saya dengan Desa Adat Kampung Pasir.
Tahun Baru 1 Sura Saka Sunda
Kedatangan saya yang kedua kali adalah untuk menghadiri undangan acara 1 Sura Tahun Baru Saka Sunda, yang dikirim oleh Kang Caca. Perayaan tersebut dilangsungkan di Desa Adat Kampung Pasir setiap tahun sekali. “Perayaan 1 Sura Saka Sunda dilaksanakan setelah perayaan Seren taun (upacara adat panen padi) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, yang jatuh pada tanggal 22 bulan Rayagung. Sudah menjadi tradisi,” ujar Abah Endan. Bulan Rayagung merupakan bulan terakhir dalam Kalender Sunda (Mataram).
Sultan Agung, Raja Kesultanan Mataram yang ke-3, menggabungkan kalender Islam (Hijriah) yang menggunakan penghitungan berdasarkan siklus bulan (lunar) dan Kalender Saka Hindu-Budha yang menggunakan penghitungan berdasarkan siklus matahari (solar). Penggabungan itu dilakukan pada saat pergantian tahun baru Saka Hindu Budha 1555 atau 1 Muharram 1043 Hijriah atau 8 Juli 1633 Masehi. Kalender gabungan itu disebut Kalender Sultan Agung. Penghitungan awal Kalender Sultan Agung mengacu pada tahun Saka Hindu-Budha 1555.
Di Jawa bagian tengah hingga timur, Kalender Sultan Agung juga disebut Kalender Jawa (Islam), sementara di wilayah Jawa bagian barat, disebut Kalender Sunda Islam atau Sunda Mataram. “Seren taun memakai Kalender Sunda Mataram yang luni-solar,” ujar Nalury, 44, warga Bandung yang menekuni Kalender Sunda sejak 2018. “Penggunaan Kalender Sunda Mataram oleh masyarakat Sunda Wiwitan (semenjak diberlakukan oleh Sultan Agung) adalah untuk mencari aman,” ia menambahkan. Sebab, penerapan Kalender Sultan Agung tidak terlepas dari masalah politik kekuasaan Kerajaan Mataram saat itu, ia menerangkan.
Kalender tradisional Sunda memiliki tiga sistem penghitungan: Kalender Sunda Suryakala (Saka Sunda) yang berdasarkan siklus matahari, Kalender Sunda Candrakala (Caka Sunda) yang berdasarkan siklus bulan, dan Kalender Sunda Sukrakala yang berdasarkan rasi bintang. Menurut Nalury, Tahun Saka Sunda Mataram (Sunda Islam) 1958 sama dengan Tahun Saka Sunda 1946 sama dengan Tahun Caka Sunda 1961. “Awal bulan dalam Kalender Sunda Islam atau Sunda Mataram disebut Muharram,” ia menjelaskan lagi. Yang menarik, Desa Adat Kampung Pasir menggunakan Sura sebagai nama bulan pertama, sama seperti di Kalender Jawa Islam.
Saya datang sehari sebelum puncak perayaan 1 Sura Saka Sunda. Kemeriahan dan kesibukan sudah terasa. Penjor dipasang di beberapa titik tempat tamu-tamu akan lewat. Saya langsung dipandu menuju ke Balai Atikan yang juga berfungsi sebagai ruang serba guna. Panggung pertunjukan sudah didirikan lengkap dengan hiasan janur dan juga kursi-kursi untuk penonton. Panggung itu berada di dekat Balai Atikan.
Di dalam Balai Atikan sudah ada Pangeran Gumirat Barna Alam dari Cigugur, Kuningan. Beliau adalah putera Pangeran Djatikusumah–sesepuh Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan di Cigugur Di situ, ada juga perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.
Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan di Desa Adat Kampung Pasir memang berhubungan sangat erat dengan Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan di Cigugur. Saya langsung dipersilahkan untuk mengambil makanan yang terhidang di sebuah meja panjang. Walaupun baru saja makan, saya tidak bisa menolak. Begitulah tradisinya, setiap tamu undangan yang baru datang biasanya langsung ditawari makanan, tidak peduli apakah si tamu sudah makan.
Kemudian, saya diajak untuk menyaksikan pertunjukan seni di panggung hiburan. Sebuah spanduk membentang di belakang panggung. Spanduk itu bertuliskan tema tahun baru Saka Sunda 1958. Setiap tahun Desa Adat Kampung Pasir memiliki tema besar. Yang menjadi tema tahun ini adalah: Ngarawat Ngarumat Ka Akur Rukunan Pikeun Nanjeur Hebeul Jaya Dibuana. Menurut Abah Endan, jika disarikan, artinya kurang lebih: Memelihara apa-apa yang sudah menjadi tradisi dari leluhur, sebagai ciptaan Tuhan harus saling tolong-menolong, teguh dan tegak secara terus-menerus dalam keyakinan, jaya di alam dunia.
Panggung Gembira
Pertunjukan yang disajikan di panggung ada tari tradisional dan tari campuran yang ditampilkan oleh anak-anak hingga remaja (nonoman). Anak-anak yang berpentas terlihat sama sekali tidak canggung. “Mereka dilatih oleh ibu-ibu,” jawab Abah Endan ketika ditanya siapa yang melatih mereka. Selain menari, anak-anak itu juga sudah pandai ngabodor (canda khas dalam pertunjukan seni panggung di tanah Sunda). Beberapa penonton ada yang maju ke panggung dan memberikan uang a la kadarnya (saweran). Suasana menjadi riuh-rendah, dan penuh gelak tawa.
Acara secara keseluruhan dibawakan dalam Bahasa Sunda. Meskipun saya tidak paham kata per kata, saya bisa menangkap maksudnya sedikit-sedikit. Bukan hanya anak-anak, kaum ibu juga ikut tampil dalam tarian masa kini. Jelas sekali, mereka semua menikmati kegembiraan. Penonton yang terdiri dari anak-anak hingga orang tua juga ikut larut dalam kemeriahan.
Menjelang azan Magrib, pertunjukan dihentikan sementara. Para penonton dan pengisi acara membubarkan diri. Suara azan pun berkumandang dari pengeras suara musholah yang berada di Desa Cintakarya.
Sementara itu, menjelang senja, sebagian dari warga Desa Adat masuk ke dalam Balai Atikan untuk melaksanakan doa dan puja-puji yang dipimpin oleh Abah Endan dan wejangan oleh Pangeran Gumirat Barna Alam.
Setelah mengikuti sesi doa, saya diantar ke rumah Ibu Yani, tempat saya bermalam. Beliau salah seorang anggota tim memasak. Kebetulan letak dapur umum berada di samping rumahnya. “Mohon maaf ini seadanya,” kata perempuan beranak tiga itu merendah ketika saya masuk ke rumahnya yang lapang.
Saya enggan ditawari makan malam, sebab perut saya masih terasa penuh. Pertunjukan panggung masih berlanjut, tapi saya permisi untuk beristirahat. Persiapan keberangkatan ke Kota Garut yang sejak pagi tadi membuat saya sudah merasa lelah. Suara para penonton terdengar dari kamar tempat saya menginap. Namun, udara yang sejuk membuat saya langsung terlelap.
Gotong Royong
Pada dini hari, tiba-tiba saya terbangun dari tidur nyenyak. Saya perlu bergegas ke kamar mandi. Pada pagi buta itu, dari balik tembok kamar mandi, saya mendengar percakapan perempuan-perempuan yang sepertinya sedang menyiapkan makanan di dapur umum. Suasananya seakan-akan hari sudah terang. Saya melirik jam tangan saya, waktu baru menunjukkan pukul 3 kurang. Saya pun kembali berkemul di udara yang cukup dingin itu.
Ketika matahari sudah terbit, Ibu Yani yang ramah itu menghidangkan minuman hangat di meja tamu. Ia memohon maaf karena tidak sempat melayani saya. Ia mengaku sibuk bekerja di dapur umum sejak kemarin. “Saya belum sempat tidur, “nyiapin” makanan untuk tamu-tamu” ujarnya sambil tersenyum. Namun, raut wajahnya tidak menampakkan kelelahan.
Perempuan-perempuan warga Desa Adat Kampung Pasir memang sibuk dalam dua hari itu. Masing-masing mereka mendapat tugas yang berbeda: ada yang bertanggung jawab untuk memasak hidangan bagi para tamu di dapur umum, ada yang terlibat dalam upacara, ada yang kebagian mengurusi pertunjukan, dan ada yang mengurusi tamu. Yang laki-laki juga mendapatkan tugas sendiri-sendiri. Semua terlihat guyub, tanpa beban, dan tertib.
Tradisi Leluhur Pengikat Persatuan
Saya mendatangi tempat acara sebelum dimulai. Semua sudah tampak tertata. Kursi-kursi untuk tamu dan meja bagian paling depan sudah rapi dengan hidangan dan makanan-makanan kecil di dalam stoples. Kelompok yang akan membawakan rajah (syair berlagu) sudah siap dengan alat musik dan para perempuan yang membawakan kidung sudah duduk berjejer rapi dengan sanggul dan dandanannya. Leuit (lumbung) telah dihias dengan janur, demikian pula padi yang akan menjadi bagian dari upacara telah disiapkan di teras Balai Atikan. Berbeda dengan hari sebelumnya, para pengisi dan pendukung acara semua mengenakan pakaian berwarna putih-putih. “Warna putih melambangkan bersih dan suci,” Abah Endan menjelaskan. “Untuk yang punya (baju putih) pake baju putih,” ujar pria kelahiran 1954 itu. Para perempuan yang terlibat dalam acara terlihat rapi dan cantik dengan solekannya.
Menjelang pukul 8 pagi, tamu-tamu undangan mulai berdatangan seperti dari Forum koordinasi pimpinan daerah Kabupaten Garut yang diwakili oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dewan Kebudayaan Kabupaten Garut, tokoh-tokoh lintas iman perwakilan dari Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha, termasuk organisasi keagamaan seperti dari Fatayat Nahdlatul Ulama dan universitas-universitas yang pernah melakukan penelitian di sana. “Ada 300 undangan yang disebar, yang datang sekitar 200,” kata Kang Caca yang mengurusi undangan.
Tamu-tamu yang baru datang mendapat makanan ringan di piring kertas kecil yang telah disiapkan oleh kaum perempuan. Para tamu mengambil tempat di kursi-kursi yang disediakan. Tuan rumah acara, Abah Endan dan Pangeran Gumirat, sudah ada di Balai Atikan.
Acara dibuka dengan rajah yang dibawakan secara berbarengan oleh sekelompok perempuan dengan seorang leading vocalist yang melagukannya dengan sangat merdu dan beberapa laki-laki sebagai pengiring dan memainkan suling dan kecapi. “Syair berisi permohonan keselamatan, kebahagiaan,” Abah Endan menerangkan. “Syair berlagu itu berasal dari Pusat (Cigugur, Kuningan),” ia menambahkan. Menurut Abah Endan, semua kesenian yang ada di Desa Adat Kampung Pasir seperti seni tari, seni suara, seni batik, seni ukir, dan seni logam merupakan warisan leluhur yang turun-temurun yang tidak terlepas dari Cigugur, Kuningan, terutama seni batik dan angklung buncis.
Penampilan dari awal hingga akhir pada upacara tersebut banyak menggambarkan simbol. Misalnya, tarian tradisional yang ditampilkan oleh empat remaja puteri yang mengenakan empat warna selandang (karembong) yang berbeda. Empat warna itu melambangan empat penjuru mata angin dan juga empat unsur alam: udara, air, angin, dan tanah yang melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dalam ajaran Pikukuh Sunda, manusia terhubung dengan manusia lain, dengan alam, dan dengan Sang Maha Pencipta.
Pertunjukan angklung buncis yang berasal dari Cigugur bagi saya sangat menarik. “Buncis merupakan kepanjangan dari budaya, urang, nurutkan, cara ciri, insan, sanusantara/Sunda Wiwitan,” kata Abah Endan. Angklung buncis biasa ditampilkan saat syukuran panen. Pertunjukan angklung buncis didahului dengan orang tua yang memakai ikat kepala khas. Ia memperagakan semacam ritual. Para pemain terdiri dari pemain angklung dan kendang/perkusi yang rata-rata berusia remaja. Mereka memainkan angklung dan kendang sambil berjalan, duduk, bahkan terlentang dalam suatu formasi tertentu yang telah diatur.
Pertunjukan angklung buncis diikuti dengan sambutan-sambutan yang semuanya dalam bahasa Sunda dan doa lintas iman dari perwakilan agama yang ada di Bumi Pancasila. Yang menjadi puncak acara adalah upacara adat ampih pare.
Dalam upacara tersebut terdapat 11 pasang laki dan perempuan yang berbaju putih-putih. Mereka berjalan beriringan menuju Balai Atikan sambil diiringi rajah. Di Balai Atikan, pasangan pertama menerima tampah berisi makanan sesajian dan buah kelapa utuh. Sementara itu, pasangan selanjutnya, yang perempuan menerima tampah berisi padi, yang laki-laki menerima piring tanah liat kecil berisi lilin yang menyala dari Pangeran Gumirat. Menurut Abah Endan, pepasangan (berpasangan) merupakan simbol dari realitas kehidupan yang saling berpasangan seperti siang-malam, laki-perempuan, dan salah-benar. Padi dari Balai Atikan itu seluruhnya kemudian dibawa dan disimpan di dalam leuit (lumbung). Jika seluruh padi sudah dimasukan ke dalam lumbung, selesailah upacara ampih pare tersebut.
Para tamu kemudian dipersilahkan untuk mencicipi makanan lezat yang telah disiapkan. Hidangan yang mungkin hanya keluar pada saat upacara ampih pare adalah tumpeng bogana. Tumpeng bogana di dalamnya berisi lauk ayam kampung. Tumpeng itu dibuat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Dengan acara yang cukup meriah itu , pembiayaan sebagian besar berasal dari swadaya masyarakat adat Kampung Pasir yang mata pencariannya sebagai buruh tani lepas, buruh bangunan atau pun bertani. Selain itu ada juga sumbangan dari beberapa kantor Dinas pemerintah, Kepala Desa, dan organisasi kemasyarakatan.
Secara keseluruhan, acara 1 Sura Saka Sunda berlangsung khidmat, penuh kekeluargaan, kerukunan, kegembiraan, dan tentu saja menjunjung nilai-nilai luhur ajaran Pikukuh Sunda. Tradisi Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan di Desa Adat Kampung Pasir dalam merayakan 1 Sura Saka Sunda telah mengikat masyarakat dari berbagai agama dan latar belakang. Ekspresi rasa syukur dan terima kasih mereka kepada Sang Yang Maha Kuasa terutama atas hasil panen padi adalah dengan membagikan kebahagiaan itu ke orang lain.
Hal itu diungkapkan dengan pertunjukan-pertunjukan tradisional yang menghibur di panggung, mengundang orang untuk menyaksikan tradisi warisan leluhur mereka, dan tentu saja memberikan hidangan kepada para tamu. Hal tersebut merupakan kearifan lokal di Nusantara yang mereka pertahankan dan jaga terus-menerus. Semua itu sejalan dengan semangat tema tahun Saka Sunda 1958: Menjaga Memelihara Keharmonisan Peninggalan Ajaran Leluhur dengan Saling Tolong-Menolong, Berkeyakinan Penuh demi Kemaslahatan di Dunia.