Bagian 2: Sekilas Tentang Pulau Bawean
Tidak mudah mendapatkan informasi yang akurat tentang asal-muasal Bawean, yang terletak 152 kilometer di utara Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur. Ada beberapa versi dari berbagai informasi yang tersebar di dunia maya. Saya mencoba mencupliknya dari sana-sini termasuk dari narasumber orang lokal.
Kepercayaan orang Bawean
Dalam makalah Konstruksi Identitas Budaya Bawean Tri Joko Sri Haryono dari Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya, menulis bahwa orang Bawean asli awalnya menganut kepercayaan animisme. Kemudian pengaruh Hindu dan Buddha masuk. Sisa peninggalan Hindu dan Buddha terdahulu dapat ditemukan di Desa Sidogedungbatu, di timur Pulau Bawean. “Sisa-sisa arca tersebut sudah dibawa ke Gresik untuk diteliti,” kata Kepala Desa Diponggo, M. Salim, 54 tahun. Menurutnya, banyak sisa artefak itu yang dirusak karena warga lokal tidak paham akan maknanya.
Secara umum pula diketahui bahwa agama Islam diperkenalkan ke Pulau Bawean oleh Syekh Maulana Umar Mas’ud cucu dari Sunan Drajat (Raden Syarifuddin atau Raden Qosim). Nama asal Syekh Maulana Umar Mas’ud adalah Pangeran Parigi. Awalnya, ia datang ke Pulau Madura bersama saudaranya Pangeran Segara untuk menyebarkan ajaran Islam. Sementara Pengeran Segara menetap di Pulau Madura, Pangeran Parigi melanjutkan berlayar ke utara ke Pulau Bawean pada abad ke-16. Ia mendarat di sebuah dusun di bagian barat daya pulau yang sekarang bernama Komalasa. Ketika itu Pulau Bawean dikuasai oleh Raja Babilalono. Pada saat kedatangannya itu, Umar Mas’ud melakukan pendekatan terlebih dulu kepada penduduk Pulau Bawean dan ia cukup diterima. Tetapi, Raja Babilalono menganggapnya sebagai ancaman atau musuh.
Sehingga, sang Raja menantangnya untuk adu kesaktian. “Yang kalah akan mengikuti agama pemenang dari adu kesaktian tersebut,” kata Ustaz Ending panggilan dari Raden Aminuddin yang aktif di Yayasan Umar Mas’ud Bawean. Perang tanding itu diadakan di Sangkapura. Menurut Ustaz Ending, terjadi adu kesaktian yang sangat seru di antara keduanya seperti merobohkan pohon besar dan menegakkannya kembali. Dalam adu kesaktian itu, Raja Babilalono mengalami kekalahan, ia tewas kena tusukan dalam laga melawan Umar Mas’ud.
”Kekalahan itu menyebabkan warga Pulau Bawean secara massal menjadi beragama Islam, karena itu dikatakan bahwa Umar Mas’ud adalah penyebar agama Islam pertama di Pulau Bawean,” ujar ustaz yang lahir 59 tahun lalu di Gresik. Umar Mas’ud lalu mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di Sangkapura. Ia berkuasa hingga wafat pada 1630 dan dimakamkan di belakang Masjid Jami’ Sangkapura. Keturunan umar Mas’ud inilah yang selanjutnya memerintah Bawean dengan gelar Raden. “Keturunan selanjutnya atau generasi ke-2 adalah Raden Ahmad Ilyas yang melanjutkan kekuasaan sampai keturunan Umar Mas’ud yang ke-11 Ali Mashar,“ Ustaz Ending, yang menjadi juru kunci salah makam salah seorang keturunan Umar Mas’ud, menjelaskan.
Nama Bawean
Asal-usul nama Bawean pun ada beberapa versi dengan hikayat yang berbeda-beda. Kitab Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 menyebut bahwa nama pulau tersebut Buwun. Ada riwayat yang menyebutkan kalau armada Kerajaan Majapahit pernah terdampar di pulau seluas 5.379 kilometer persegi itu. “Nama-nama tempat di Pulau Bawean banyak dipengaruhi oleh nama dari Bahasa Sansekerta seperti Sangkapura, Komalasa, Sukalela, atau Murtalaya,” ungkap M. Salim. “Tidak ada nama tempat yang diambil dari Bahasa Madura.” Pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-18 menyebut Pulau Bawean sebagai Lobeg, Lobok, Bovian, dan Baviaan.
Suku Perantau
Warga pulau yang jumlah penduduknya diperkirakan sebanyak 83.400 itu (2023) tidak mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang Madura, seperti anggapan kebanyakan orang yang belum tahu. “Sulit mencari orang Bawean asli. Berbagai suku ada di Bawean saat ini,” kata Ustaz Ending. Sebagai pulau yang letaknya di utara Jawa, Pulau Bawean menjadi tempat persinggahan mereka yang pada masa lalu hendak berlayar ke Pulau Jawa. Para pelayar itu berasal dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Ada yang melanjutkan perjalanannya sampai ke Pulau Jawa, ada pula yang menyangkut, menetap, dan beranak-pinak di Pulau Bawean. Orang dari Pulau Madura mulai berdatangan ke Pulau Bawean diduga seiring dengan masuknya agama Islam bersama Umar Mas’ud.
Tidak heran, di Pulau Bawean terjadi percampuran suku-suku di Indonesia, ada yang dari Bugis, Mandar, Palembang, Kalimantan, dan Madura. “Ada perkampungan sejak zaman kolonial Belanda yang isinya keturunan Palembang Kemas dan Nyimas (semacam gelar),” Ustaz Ending menjelaskan. Dengan suku yang bercampur-baur, warga Pulau Bawean menggunakan Bahasa Bawean yang mirip dengan bahasa yang digunakan di Pulau Madura. Tentu saja mereka juga menggunakan Bahasa Indonesia.
Selain itu, Suku Bawean terkenal sebagai suku yang suka merantau. Fenomena perantauan masyarakat Pulau Bawean telah dikenal sejak abad ke-18. Jangkauan mereka hingga ke Viet Nam, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Merantau bagi masyarakat Bawean merupakan tradisi dan kegiatan yang mengandung kesadaran kolektif, berlangsung lama dari generasi ke generasi dan menjadi bagian kehidupan sosialnya. Seperti yang ditulis oleh Sri Wiryanti Boedi Oetami dan Mochamad Ali dalam Jurnal Sastra dan Kearifan Lokal tahun 2022.
“Thohir (pahlawan nasional Harun Thohir) mudah masuk ke Singapura ketika itu karena (ia) ada keluarga di sana,” kata Kepala Desa Diponggo, M. Salim. Menurutnya, sampai dengan tahun 1980-an masih mudah untuk masuk ke Malaysia bagi orang Bawean. Di sana mereka bekerja untuk pembangunan gedung-gedung sebagai tenaga buruh kasar. Sekarang, banyak dari pekerja rantau itu yang sudah menjadi warga negara Malaysia, mereka dikenal sebagai orang Boyan.
Tikar Bawean
Untuk melihat buah dari kesenian Pulau Bawean, pemandu kami, Iswanto, mengantarkan kami ke pusat kerajinan anyaman tikar pandan di Desa Gunung Teguh di Kecamatan Sangkapura. Tikar pandan Bawean pernah menjadi hasil kerajinan tangan dari Pulau Bawean yang cukup terkenal. Tapi sekarang, hanya Desa Gunung Teguh yang masih menyisakan pengrajin tikar pandan, itu pun tersisa 4 hingga 6 rumah saja.
Pembuatan anyaman pandan Bawean
Kami mampir di rumah Sumiyati, 60 tahun, yang sudah menganyam tikar pandan sejak muda. “Pengrajin tikar sudah berkurang,” kata Sumiyati yang tinggal bersama anaknya. “Mereka tidak tertarik membuat kerajinan tikar,” lanjutnya sambil menganyam tikar. Modernisasi membuat anak-anak muda lebih suka menghabiskan waktunya mengerjakan hal lain seperti membuat konten di media sosial. Selain itu, tanaman pandannya sendiri juga sudah mulai berkurang.
Sumiyati adalah penganyam yang tersisa yang berusaha mewariskan keterampilannya ke anak perempuannya. Ia mengerjakan semuanya dari mencari daun pandan, mengolah daun-daun pandan itu dengan cara direbus, diwarnai, dan dikeringkan, sebelum siap dianyam. Keunikan dari anyaman pandan dari Bawean adalah selain lemas juga kombinasinya warna-warnanya yang menarik. “Kami belajar dari nenek-nenek kami,” kata Sumiyati ketika ditanya bagaimana ia mengombinasikan warna.
Kerajinan anyaman dari daun pandan itu bukan saja tikar tapi juga tas, dompet, dan ikat kepala, harganya bervariasi bergantung pada tingkat kesulitan pengerjaannya berkisar dari Rp 50,000 hingga ratusan ribu untuk tikar yang besar. Sumiyati adalah pewaris kearifan lokal yang pengetahuan dan keterampilannya ditularkan dan dipelihara agar anyaman tikar Bawean tidak tinggal cerita saja.
Video perantau Bawean diambil dari Kacong Explorer
Bersambung