
Gubernur Daerah Khusus Jakarta, Pramono Anung, melakukan kunjungan ke kawasan Pasar Baru pada 19 Juni 2025. Dalam kunjungan itu, ia menyampaikan komitmennya untuk meremajakan kawasan yang pernah menjadi ikon perbelanjaan Jakarta, dan menjadikannya sebagai “hub” atau pusat interaksi warga Jakarta.
Lihat kunjungan Gubernur di sini: https://www.youtube.com/watch?v=ZgeUKOz9Ygo)
Komitmen tersebut diperkuat oleh Wakil Gubernur Rano Karno saat meresmikan acara Discover Betawi Art and Culture pada Juni 2025 di Hotel Borobudur Jakarta. Pada kesempatan itu, Rano Karno mengungkapkan bahwa revitalisasi Pasar Baru akan dilakukan menggunakan dana APBD Daerah Khusus Jakarta.
Berita pernyataan Wagub Rano Karno: https://www.antaranews.com/berita/4889689/wagub-rano-sebut-revitalisasi-pasar-baru-pakai-apbd-2026
Tentunya, banyak harapan yang bertumpu pada komitmen Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut, terutama dari Generasi X dan Baby Boomers yang memiliki kenangan erat dengan Pasar Baru. Pada era 1980-an, kawasan yang terletak di Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat, itu adalah pusat belanja favorit untuk mencari sepatu dan arloji bermerek, tekstil mahal, hingga perabot rumah tangga berkualitas. Saya sendiri sempat membeli sepatu olahraga bermerek di salah satu toko di sana pada pertengahan 1980-an.
Setiap akhir pekan, Pasar Baru selalu dipenuhi pengunjung. Apalagi menjelang hari raya seperti Lebaran atau Natal, jalanannya padat oleh warga lokal dan juga wisatawan mancanegara. Namun, itu semua adalah gambaran dua dekade lalu.
Pasar Baru Hari Ini
Sekarang, kondisi Pasar Baru jauh berbeda. Ketika saya menyebut baru saja berbelanja di Pasar Baru, seorang kenalan dari generasi Baby Boomers terheran-heran, “Memang Pasar Baru masih ada?” Begitulah citra Pasar Baru hari ini. Kilau kejayaannya meredup, bahkan mulai dilupakan oleh generasi yang dulu tumbuh bersamanya. Ia seperti pohon tua yang perlahan-lahan meranggas.

Jika dibandingkan dengan Pasar Baru sepuluh atau dua puluh tahun silam, perbedaannya sangat mencolok—bagaikan siang dan malam. Tidak ada lagi keramaian di toko-toko, apalagi desakan pengunjung di lorong-lorongnya. Kini, jalanan tampak lengang, toko-toko banyak yang tutup, dan hanya sesekali terlihat pengunjung datang.
Ruhnya Jakarta
Tak berlebihan jika Wakil Gubernur Rano Karno menyebut Pasar Baru sebagai “ruh” Kota Jakarta. Sejarah kawasan ini begitu erat kaitannya dengan perjalanan Kota Jakarta.

Pada 1808, Gubernur Jenderal Batavia, Herman Willem Daendels, memindahkan pusat pemerintahan Batavia dari Oud Batavia (Kota Tua) ke Nieuw Batavia di kawasan Weltevreden yang berada di sekitar Pasar Baru. Jejak masa keemasan kawasan ini masih tampak dari bangunan-bangunan tua peninggalan masa kolonial seperti Stasiun Gambir (dulu Stasiun Weltevreden ), Gereja Katedral, Gereja Immanuel, RSPAD Gatot Subroto (dulu Groot Militair Hospitaal), Gedung Kesenian Jakarta (dulu Stadsschouwburg), dan Pos Bloc (dulu Kantoor Post Telefon en Telegraf).

Di sekitar Weltevreden juga terdapat kawasan pemukiman elit warga kulit putih Belanda di Rijswijk (kini Jalan Veteran). Untuk melengkapi kebutuhan warga tersebut, dibangunlah kawasan perdagangan terbuka yang dikenal dengan nama Passer Baroe yang berdiri sejak 1820. Kawasan itu kemudian berkembang pesat dan didominasi oleh pedagang Tionghoa.
Pasar Baru dikenal sebagai pusat perdagangan barang impor tertua di Batavia—mulai dari jam tangan, jam dinding, sepatu, tas, kain, tekstil, hingga perabot rumah tangga.

Di Pasar Baru ada Toko Kompak yang dulu bernama Sin Siong Bouw yang menjadi kediaman Mayor Tio Tek Ho (1857-1908), salah seorang Mayor Tionghoa di Batavia. Sekarang, Toko Kompak berganti nama menjadi Toko Sutra Putih. Rupa bangunannya masih sama dengan bangunan awal dulu.

Toserba pertama yang melabel harga barang di Batavia ada di Pasar Baru dengan nama Toko Tio Tek Hong, milik dua bersaudara pengusaha Tio Tek Hong dan Tio Tek Tjoe. Toko tersebut sekarang menjadi toko jam Populer. Gedungnya pun sudah berubah. Tio Tek Hong juga menjual fonograf dan memproduksi platgramafoon. Produksi rekaman lagu Melayu, keroncong stambul di platgramafoon itu menyebar ke banyak tempat di Indonesia.

Pada masa keemasannya, Pasar Baru menjadi sentra perdagangan tekstil yang didominasi oleh komunitas pedagang India. Mereka membentuk komunitas lengkap dengan sekolah, tempat ibadah, bank, hingga rumah makan. Di Kawasan Pasar Baru pula berdiri Kuil Hare Krishna, Pusat Studi Sathya Sai Baba, Kuil Sikh , Klenteng Sin Tek Bio (Vihara Dharma Jaya) yang usianya lebih tua dari Pasar Baru itu sendiri, serta Gereja PNIEL (dikenal juga sebagai Gereja Ayam). Semuanya itu menggambarkan kondisi Pasar Baru yang multikultur.

Seiring dengan perjalanan waktu, kawasan ini terus berkembang dengan hadirnya Pasar Baru Metro Atom, Harco Pasar Baru, dan sejumlah lapak kaki lima. Namun, kejayaan Pasar Baru mulai terkikis oleh kehadiran mal dan pusat perbelanjaan modern di berbagai penjuru Jakarta.
Masa Suram dan Tantangan Baru
Merry Srifatmadewi (59), warga Jakarta yang lahir dan dibesarkan di Jalan Pasar Baru, mengenang masa lalu kawasan itu sebagai tempat tinggal yang nyaman dan tidak terlalu ramai. Namun kini, menurutnya, kondisi Pasar Baru bak terjun bebas, terutama pasca-pandemi COVID-19.
Lebih jauh, perubahan gaya hidup masyarakat—yang kini cenderung memilih belanja daring—menjadi tantangan tersendiri. “Mereka yang masih datang ke Pasar Baru kebanyakan adalah orang-orang yang ingin bernostalgia,” ujar Merry, yang pernah membuka toko kaset di Pasar Baru Metro Atom.

Ia pun mengungkapkan berbagai masalah mendasar yang membuat Pasar Baru kian ditinggalkan: pengelolaan sampah yang buruk, bau tidak sedap, sistem drainase yang menyebabkan genangan saat hujan, lalu lintas yang semrawut, dan pengelolaan parkir yang dikuasai preman. Tak hanya itu, banyak toko tutup karena tidak ada penerus yang melanjutkan usaha keluarga.
Jalan Panjang Revitalisasi
Sebelum mengundang warga kembali untuk berbelanja di kawasan legendaris ini, Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno perlu menyelesaikan masalah-masalah dasar yang menghantui Pasar Baru. Dari pengelolaan lingkungan hingga keamanan dan kenyamanan pengunjung—semuanya perlu diperbaiki secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Pasar Baru bukan sekadar tempat perputaran uang. Ia adalah rangkaian kisah sejarah perkembangan kota dari masa kolonial hingga sekarang, tempat pertemuan berbagai budaya dan tradisi tanpa gejolak kuat, dan cermin dinamika sosial ekonomi Kota Jakarta. Menghidupkan Pasar Baru berarti menghembuskan kembali ruh ke kawasan perdagangan ini agar nadinya kembali berdenyut menjadi salah satu ikon Kota Jakarta.