Keputusan kami untuk mengunjungi Dusun Wotawati yang terletak di Kalurahan Pucung, Kapanewon Girisubo, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebenarnya cukup spontan. “Mumpung tujuannya Gunungkidul,” begitulah kesepakatan antara saya dan Heni, teman seperjalanan saya, sebelum kami berangkat. Ketertarikan saya pada Dusun Wotawati dipicu beberapa unggahan di media sosial yang menyebutkan bahwa dusun tersebut terpapar sinar matahari selama sekitar 10 jam per hari.

Gunungkidul
Karena jaraknya cukup jauh dari Kota Yogyakarta, kami berangkat pada pagi hari. Mobil yang kami tumpangi melaju di atas jalan aspal yang mulus menuju Kabupaten Gunungkidul. Penglihatan kami disambut dengan pemandangan yang khas berupa hutan jati, sawah tadah hujan, dan rumah-rumah pedesaan. Meskipun Gunungkidul dikenal sebagai wilayah yang tandus, nyatanya tidaklah gersang.

Sepanjang jalan banyak dijumpai warung dan penjual makanan, asalkan ada uang, kami tidak perlu khawatir kelaparan dan kehausan.
Memasuki Wonosari, Ibukota Kabupaten Gunungkidul, kami mampir di sebuah kios yang menjual tiwul dan gathot, kudapan khas Gunungkidul yang berbahan dasar dari ketela/singkong. Kudapan tersebut tidak dijumpai di daerah lain.

Tanah di Gunungkidul yang sebagian besar terdiri dari batu kapur cocok ditanami ketela. Dari dulu ketela memiliki peran yang berarti bagi masyarakat yang tinggal di sana. Ketela dibuat gaplek sebagai makanan pokok pengganti beras. Gaplek juga dapati diolah menjadi berbagai kudapan seperti getuk, tiwul, gathot, mie, kue basah, dan juga menjadi kerupuk. Gaplek adalah ketela/singkong yang telah dikupas dan dikeringkan, biasanya dengan cara dijemur di bawah sinar matahari, sehingga memiliki umur simpan lebih panjang dibandingkan dengan singkong segar.

Setelah berkendara selama kurang lebih dua jam, kami memasuki wilayah Dusun Wotawati. Pengemudi kami, Yahya, menyetir mobil mengikuti petunjuk jalan yang dipasang dan informasi dari penduduk setempat. Ia perlu berhati-hati karena ada beberapa bagian jalan yang naik turun cukup tajam.

Jalan menuju Dusun Wotawati berupa cor blok yang belum diaspal dan hanya muat untuk satu kendaraan roda empat. Rerumputan sekitarnya terlihat kering kecokelatan sementara pepohonan berdaun hijau yang tumbuh di perbukitan tampak menjulang tinggi. Tanaman perdu dan semak terlihat tumbuh di antara bebatuan cadas. Udara siang itu sangat terik dengan langit yang tidak berawan.
Lembah Purba
Dusun yang berjarak kurang lebih 74 kilometer di sebelah tenggara pusat kota Yogyakarta itu terletak di lembah yang dulunya adalah jejak dari aliran Sungai Bengawan Solo purba. Hulu Sungai Bengawan Solo purba berasal dari wilayah perbukitan di Kabupaten Wonogiri di Kecamatan Giritontro yang kemudian melintasi berbagai desa sebelum akhirnya bermuara di Pantai Sadeng di selatan Gunungkidul. Dusun Wotawati juga berada dalam kawasan Geopark Gunung Sewu.

Dusun Wotawati diapit oleh bukit-bukit kapur dan batu cadas yang mencakar langit. Letaknya yang terhimpit itu membuat sinar matahari baru menyentuh Dusun Wotawati sekitar pukul 07.00 pagi dan menghilang lebih cepat, sekitar pukul 17.00.
Tetapi, selama siang hari dusun yang diproyeksikan menjadi desa wisata itu terkena sinar matahari penuh.

Setibanya di Dusun Wotawati kami melihat barisan pagar tembok terakota dengan fasad terakota yang tampak baru. Letak rumah-rumahnya teratur seperti sistem blok di perumahan modern. Selang dua hingga empat rumah dibangun jalan penghubung. Jalan tersebut dahulunya merupakan jalan air atau drainase yang dibangun untuk mencegah banjir. Sekarang, jalan yang berupa cor semen itu dimanfaatkan sebagai jalan penghubung dusun.
Yahya mencari tempat untuk memarkir mobil. Kami melihat sebuah rumah dengan pekarangan yang cukup luas dan memintanya untuk membelokan mobil ke arah rumah yang memiliki warung kecil itu. Pemilik rumah yang kebetulan sedang berada di pekarang mempersilahkan kami.
Rumah Gaya Majapahit
Kami pun mampir di rumah pasangan Bapak Tukijan, 60, dan Ibu Surati, 60. Dengan keramahan khas warga desa, pasangan itu menyambut kami dan langsung menggelar tikar sambil menyajikan penganan seperti pisang yang dipetik dari kebun dan kerupuk yang terbuat dari singkong.

Cukup lama kami mengobrol di kediaman Pak Tukijan. Percakapan dilakukan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa yang dapat saya tangkap sebagian. Teman saya Heni kadang merangkum percakapand alam Bahasa Jawa. Meskipun cuaca terik, angin yang berhembus sepoi-sepoi dan sejuk hampir saja membuat saya jatuh tertidur.

Fasad dan tembok pagar rumah yang terlihat baru itu memang belum lama dibuat. Warga dusun yang dihuni oleh 83 kepala keluarga itu pada 2023 menerima Dana Keistimewaan dari Pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta setelah usulan Dusun Wotawati untuk menjadi desa wisata disetujui. Dana itu kemudian digunakan untuk penyusunan dokumen, pembangunan pendopo serta pembangunan tembok pagar dan fasad rumah warga.
Pada tahun 2024, 14 dari 79 rumah diperbaiki dengan memakai dana tersebut. “Kalau tidak bersedia (untuk diperbaiki) juga tidak apa-apa,” ujar Pak Tukijan yang pekarangan rumahnya digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan bangunan. “Tahun 2025 ada 35 rumah yang diperbaiki,” ia menambahkan. Isterinya, Surati, juga turut sibuk dengan adanya proyek itu. Setiap hari ia menyiapkan makan pagi dan makan siang untuk tukang-tukang yang bekerja memperbaiki rumah–dengan menerima upah tentunya.

Konsep arsitektur yang dipilih adalah perpaduan gaya Majapahit dan Mataram. Sebab, berdasarkan cerita para sesepuh bahwa leluhur warga Wotawati merupakan pelarian dari Kerajaan Majapahit. Mereka tinggal di Gua Putri yang terletak di ketinggian. Mereka turun dari gua untuk mencari lahan buat bercocok tanam. Untuk itu, mereka harus menyeberangi sungai kecil yang ketika itu masih mengalir. Karena itulah dibuat powotan, jembatan dari bambu yang hanya dapat dilewati satu orang. Konon, dari situlah nama Wotawati berasal. Selanjutnya, mereka mulai membuat gubuk-gubuk dan menetap di lembah tersebut.

Dusun Terpencil
Baik Pak Tukijan maupun Bu Surati tidak mengetahui dengan pasti kapan dusun ini berdiri. “Saya orang kelahiran sini asli,”kata Pak Tukijan yang memiliki satu orang anak. Sebelum ada angkutan, warga berjalan kaki jika hendak ke ladang atau ke dusun lain. Keterisolasian juga menyebabkan warga kawin antara tetangga. “Bapak itu dulu tetangga saya,” kata Bu Surati dalam bahasa Jawa sambil terkekeh.

Tanah yang tandus menyebabkan warga sulit mendapatkan air. Karena itu mereka mengandalkan air hujan sebab air tanah sulit didapat. Setiap rumah memiliki wadah untuk menampung air hujan yang kemudian disaring dan digunakan untuk keperluan memasak dan air minum. “Air dari Perusahaan Daerah Air Minum digunakan untuk mencuci dan mandi,” kata Pak Tukijan.

Pekerjaan sehari-hari warga Dusun Wotawati adalah bertani sawah tadah hujan, menanam palawija terutama ketela. Dari ketela diolah menjadi berbagai kudapan berupa gathot, tiwul, atau pun kerupuk getuk. Mereka juga biasa makan gaplek sebagai pengganti beras.
Saat kami datang, ada rombongan wisatawan lain yang juga sedang mengunjungi rumah di samping rumah Pak Tukijan. Saat ini, belum banyak yang dapat dilihat dari Dusun Wotawati selain bangunan rumah dan tata letaknya, lingkungannya yang membawa kita pada nuansa pemukiman semasa Majapahit dan Mataram, serta kehidupan warganya.

Tahun depan diperkirakan seluruh proyek pembangunan di Dusun Wotawati akan selesai mulai dari jalan, drainase, gasebo, gapura, tempat informasi wisata, dan lainnya. Keseriusan menjadikan Dusun Wotawati sebagai desa wisata terlihat dari kunjungan Kanjeng Ratu Hemas, isteri Sultan Hamengku Buwono X, beberapa bulan lalu. “Beliau datang untuk meresmikan bangunan pendopo,” kata Pak Tukijan.
Desa Wisata
Pak Tukijan dan Bu Surati sangat menyambut dusunnya dijadikan sebagai desa wisata yang tentunya akan mempengaruhi pendapatan. Ia sendiri membuka rumahnya untuk dijadikan homestay. “Per orang per malam Rp 100.000,” katanya lagi. Sang isteri juga membuat kerupuk yang diolah dari ketela yang ia tawarkan kepada pengunjung.
Berdasarkan Portal Provinsi D.I Yogyakarta, nantinya akan ada paket wisata untuk mereka yang berkunjung ke Dusun Wotawati. Paket tersebut meliputi menyusuri dusun, bercocok tanam dengan masyarakat lokal, dan menyusuri Sungai Bengawan Solo purba. Saat ini, yang sudah tersedia adalah tempat penyewaan pakaian adat untuk mereka yang ingin berfoto di Dusun Wotawati.

Dengan lokasi yang unik di antara bukit kapur, sejarah yang menarik, dan keramahtamahan warganya menjadikan tempat ini layak dikunjungi—baik untuk pelancong alam, pecinta budaya, atau mereka yang sekadar ingin melepas penat dari hiruk pikuk kota.

Desa Wotawati sudah membuka pintunya untuk dunia luar. Ia dapat dijadikan tujuan alternatif terutama bila mengunjungi wilayah Gunungkidul.