Bagian 1:
Melongok Desa Diponggo, Kampung Halaman Pahlawan Nasional Harun Thohir
Lima Jam di Kapal Feri
Pagi itu langit di atas Pelabuhan Gresik, Jawa Timur, tertutup arakan awan putih. Jarum jam menunjukkan pukul 9, kapal ferry Express Bahari yang kami tumpangi berangsur-angsur bergerak meninggalkan dermaga Pelabuhan Ferry Penumpang Gresik. Dari tepi dermaga para petugas pelabuhan melambai-lambaikan tangannya mengantar kepergian kapal yang baru saja melepas tali kapal itu. Saya memandangnya dari jendela kaca di samping tempat duduk.
Saya berada di lambung kapal paling bawah. Ruang penumpang Kelas Eksekutif itu terbilang lengang, tempat duduknya banyak yang kosong. “Silahkan duduk di mana saja,” kata petugas. Saya mengambil kursi di samping jendela, teman seperjalanan saya, Heni, duduk tepat di baris belakang saya.
Lalu lintas kapal di perairan yang diapit oleh daratan Kabupaten Gresik di sebelah barat dan daratan Bangkalan, Pulau Madura, di sebelah timur itu tampak padat. Kapal-kapal besar mulai dari kapal kargo hingga kapal tongkang mengapung di perairan. Tidak heran air lautnya tampak keruh.
Kapal ferry dengan kapasitas 250 penumpang itu bergerak menuju Pulau Bawean–tujuan perjalanan kami. Setelah lebih dari satu jam, barulah kapal keluar dari selat dan perlahan-lahan daratan Pulau Madura dan Gresik menghilang dari pandangan.
Tidak lama, pendingin ruangan mulai terasa di kulit, untungnya saya membawa jaket tipis yang sedikit menghangatkan badan. Di kejauhan tampak awan kelabu, jangan-jangan hujan akan turun, saya membatin. Beberapa penumpang mengambil tempat duduk seperti bersiap hendak tidur, dari barang-barang yang mereka bawa, sepertinya, mereka adalah pekerja migran yang akan kembali ke kampung halaman.
Televisi yang menempel di dinding tidak memancarkan siaran. Tidak banyak yang dapat kami lakukan selain mengobrol sambil mengunyah bekal makanan yang kami bawa. Saya sempat tertidur, kemudian terbangun ketika kapal mulai terombang-ambing, rupanya di luar sudah turun hujan. Hentakan ombaknya cukup kuat. Kami memasuki wilayah tanpa sinyal telepon. Di luar, yang saya lihat hanya langit kelabu, terpaan ombak, dan sedikit kabut.
Setelah mengarungi laut dan terapung-apung ombak selama empat jam, hati kami terasa plong seketika melihat daratan dari jendela kaca. Laut mulai agak tenang, meskipun mendung tetap menggantung. Saya lalu menghubungi pemandu saya, Iswanto, dari Baweanis Tour mengabarkan bahwa kami segera tiba dan meminta bantuannya untuk mengangkat koper kami. Iswanto menawarkan opsi tempat yang akan kami kunjungi hari itu. Karena kondisi cuaca jadwal perjalanan mengalami perubahan.
Kapal ferry akhirnya merapat di Dermaga Sangkapura menjelang pukul 2 siang, waktu perjalanan meleset lebih lama dari perkiraan kami. Untungnya, hujan deras yang membasahi Pulau Bawean sejak pagi sudah reda begitu kami tiba.
Diponggo: Desa Bersejarah di Bibir Pantai
Senang rasanya dapat menginjakkan kaki untuk pertama kali di pulau yang berjarak 120 kilometer di utara Kota Gresik itu. Dari dermaga, mobil membawa kami ke Penginapan Miranda– tempat kami bermalam–untuk menyimpan barang-barang bawaan. Kami mau mampir makan siang dulu, mengingat waktu, Iswanto menganjurkan kami untuk makan sajian yang cepat.
Ban mobil melaju melindas jalan konblok penghubung sekeliling pulau. Iswanto mengantar kami ke tempat penjual makanan di pinggir pantai. Di situ banyak lapak penjual, kami memilih bakso, hidangan hangat yang pas setelah kedinginan di kapal.
Tujuan kami adalah Desa Diponggo, di Kecamatan Tambak, yang terletak di utara Pulau Bawean. Pulau Bawean terdiri dari dua kecamatan: Kecamatan Tambak yang mencakup wilayah tengah hingga utara pulau, dan Kecamatan Sangkapura yang meliputi wilayah tengah hingga selatan pulau. Selama perjalanan, saya terkagum-kagum dengan rumah-rumah warga yang hampir semuanya terbuat dari tembok. Menurut Iswanto, banyak warga Bawean yang pergi merantau, bahkan sampai ke negeri jiran, hasil jerih-payah mereka itu digunakan untuk membangun rumah di kampung halaman. Tidak heran, banyak rumah yang terlihat mewah dan megah.
Peta Pulau Bawean (Sumber: researchgate.net)
Yang menarik, kebanyakan rumah itu dibangun bersebelahan dengan rumah di sampingnya. Rumah-rumah itu pun letaknya di pinggir jalan jadi tidak punya pekarangan, hanya yang di pelosok yang memiliki pekarangan luas. Alam pedesaan Pulau Bawean sangat unik dengan hamparan sawah tadah hujan, tidak sedikit yang letaknya bersinggungan dengan tepi pantai laut lepas. Sesekali kami melewati kanopi vegetasi yang didominasi hutan jati. Pemandangan silih berganti antara kawasan pemukiman yang cukup rapat, persawahan tadah hujan, hutan, dan pantai. Sepanjang perjalanan kami membuka kaca jendela mobil untuk menikmati hawa yang super segar.
Kami memasuki Desa Diponggo yang terletak di bibir pantai. Desa tersebut adalah desa bersejarah yang menjadi tanah kelahiran pahlawan nasional Harun Thohir dan tempat tokoh Islam yang amat dihormati, Waliyah Zainab, dimakamkan. Yang unik, berdasarkan penelitian Dr Agus Sariono, ahli bahasa dari Universitas Jember Jawa Timur, Diponggo merupakan satu-satunya desa di antara 30 desa di Pulau Bawean yang penduduknya menggunakan varian bahasa Jawa.
Muhammad Salim, 54 tahun, yang menjadi Kepala Desa Diponggo belum menemukan asal-muasal desanya dinamakan Diponggo, yang berarti raja besar yang bersinar. Desa yang dihuni 1.417 jiwa itu kebanyakan warganya bekerja sebagai pelaut di kapal dagang luar negeri. “Mereka berjiwa petualang. Kebanyakan merantau ke Jakarta pada tahun 1950-an dan tinggal di wilayah Tanjung Priok, bekerja di pelabuhan. Harun Thohir hijrah dari Bawean ke Jakarta karena ia punya banyak saudara di sana,” katanya.
Waliyah Zainab
Di Desa Diponggo, Masjid Waliyah Zainab menjadi masjid yang terbesar dan termegah. Bangunannya memiliki dua menara dan dicat dengan dominan warna hijau. Di belakang masjid yang terawat itu terdapat makam Waliyah Zainab.
Referensi tentang Waliyah Zainab ada berbagai versi. Berdasarkan penelusuran literatur secara online, saya memutuskan untuk mengambil referensi yang banyak dikutip.
Waliyah Zainab atau Dewi Wardah adalah cucu dari Sunan Sendang Duwur (Raden Nur Rahmat) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Paciran, Lamongan, Jawa Timur pada tahun 1500-an. Beliau menikah dengan Pangeran Sedo Laut yang merupakan cucu Sunan Giri (1442-1506), pendiri Giri Kedaton.
Giri Kedaton atau Kasunanan Giri–Kerajaan Islam di Gresik yang berafiliasi dengan Kesultanan Demak–pada abad ke-16 dipimpin oleh Sunan Prapen, cucu dari Sunan Giri. Sunan Prapen mengutus saudara tirinya Pangeran Sedo Laut beserta istrinya, Waliyah Zainab, untuk ke Pulau Bawean. Dalam pelayaran, perahu yang mereka tumpangi dihantam ombak hebat; semua meninggal dunia kecuali Waliyah Zainab.
Waliyah Zainab lalu terdampar di wilayah Kumalasa, di barat daya Pulau Bawean, tetapi beliau diusir karena menolak pinangan syahbandar setempat. Akhirnya Waliyah Zainab menemukan daerah yang sekarang bernama Desa Diponggo, yang warganya menerimanya dengan tangan terbuka. Waliyah Zainab menetap di sana hingga akhir hayatnya. Masjid yang sekarang berdiri tegak konon awalnya didirikan oleh beliau. Beberapa referensi menyebutkan bahwa Waliyah Zainab mempraktikkan ajaran Syekh Siti Jenar.
Tradisi yang dilakukan oleh warga Desa Diponggo hingga sekarang yang terkait dengan Waliyah Zainab adalah Puyahale. “Tradisi Puyahale merupakan tradisi tolak bala atau memagari desa agar terlindung dari segala bentuk ancaman bahaya, supaya desa menjadi aman-tenteram dan warganya hidup guyub,” Muhammad Salim menjelaskan.
Tradisi tersebut dilaksanakan setiap bulan Muharram kalendar Hijriah pada Hari Senin atau Kamis. Pada acara Puyahale, warga yang laki-laki mengelilingi Desa Diponggo berjalan kaki dengan membawa pusaka peninggalan Waliyah Zainab sembari membaca zikir dan puji-pujian. Acara dimulai setelah salat Zuhur di Masjid Waliyah Zainab dan berakhir di tempat yang sama. Jalan kaki keliling desa tersebut memakan waktu kurang lebih dua jam, karena itu warga desa juga biasa menyebut tradisi itu Zikir midher.
Makam Waliyah Zainab yang dikelola oleh Yayasan Waliyah Zainab itu terletak di belakang masjid. Pusaranya berada di dalam ruangan yang dikunci rapat. Iswanto membukakan pintu sehingga kami dapat masuk ke ruangan yang didominasi warna kuning tua tersebut. Di dalam ruangan ada dua makam lain yang kemungkinan adalah makam orang dekat Waliyah Zainab.
Di depan ruangan makam terdapat pendopo yang biasanya digunakan warga untuk acara keagamaan. Di sampingnya, dibatasi dengan tembok, terdapat lahan luas yang menjadi tempat pemakaman umum.
Pahlawan Nasional Usman dan Harun
Nama Sersan Dua Usman Janatin Bin Hj Mohd Ali dan Kopral Dua Harun Thohir yang dikenal sebagai Usman-Harun tidak pernah pudar dalam ingatan perjalanan sejarah modern Indonesia. Keduanya adalah prajurit Komando Korps Operasi (sekarang menjadi Korps Marinir) Angkatan Laut yang dihukum mati gantung oleh pemerintah Singapura pada 17 Oktober 1968. Keduanya dinyatakan bersalah melalui sidang pengadilan sebagai pelaku pengeboman di Gedung MacDonald House di Orchard Road, Singapura pada 10 Maret 1965.
Usman Janatin, Harun Thohir, dan Gani bin Arub–yang lolos dari penangkapan– melakukan pengeboman itu atas nama negara. Ketika itu, di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno, Indonesia menentang penggabungan Federasi Tanah Melayu, Singapura, Brunei, Serawak, dan Sabah ke dalam satu Malaysia. Konfrontasi tersebut muncul karena Indonesia mengkhawatirkan penggabungan itu adalah bentuk baru dari neo-kolonialisme.
Di sidang pengadilan, Usman dan Harun meminta agar diperlakukan sebagai tawanan perang, tapi permintaan itu ditolak. Putusan pengadilan pada 20 Oktober 1965 untuk keduanya adalah hukuman mati. Pemerintah Indonesia mengajukan permohonan banding di London. Sebab, saat itu, Singapura termasuk anggota negara Persemakmuran jadi keputusan hukum tertinggi ada di London, Inggris. Hasil banding juga tidak diterima. Presiden Soeharto kemudian menulis surat kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew dan meminta agar Usman dan Harun tidak dihukum mati. Namun, permintaan itu pun ditolak.
Setelah dieksekusi di Penjara Changi, Singapura, jenazah Usman dan Harun dikirim ke Indonesia dan disambut dengan upacara militer begitu tiba di Bandara Kemayoran Jakarta. Usman dan Harun diangkat sebagai pahlawan nasional, namanya diabadikan menjadi nama jalan di depan Markas Komando Korps Marinir Jakarta dan Kapal Perang TNI Angkatan Laut yakni KRI Usman Harun 359.
Harun Tohir Pahlawan asal Pulau Bawean
Rumah tempat pahlawan nasional Harun Thohir dibesarkan masih berada dalam satu kompleks dengan Masjid Waliyah Zainab, dan jaraknya hanya beberapa meter dari rumah Kepala Desa Diponggo, Muhammad Salim. Beliau tidak ada di tempat ketika kami datang. Kami ditemani tetangga keluarga Harun Thohir untuk menyambangi rumah tembok sederhana bercat putih yang dalam keadaan terkunci. Model rumahnya mengingatkan saya pada rumah-rumah lama di Pulau Jawa. Sepertinya, rumah itu sudah lama ditinggalkan dan tidak banyak perabot di dalamnya. Ada beberapa poster Harun Thohir yang tertempel di tembok. Semua foto dan benda terkait dengan Harun Thohir disimpan di rumah Kepala Desa Diponggo. “Hari Pahlawan lalu, ada rombongan anak Sekolah Dasar yang datang kemari,” kata salah seorang pengantar kami.
Di rumah yang cukup luas itulah Harun Thohir dilahirkan dan keluarga besarnya pernah tinggal. Ayahnya bernama Mahdar berasal dari Mandar, Sulawesi Selatan, sedangkan ibunya orang Bawean asli. “Nama asli beliau Tahir bin Mahdar, Harun bin Said adalah nama sandinya (ketika mendapat tugas untuk pengeboman),” kata Muhammad Salim yang merupakan keponakan Harun Thohir dalam percakapan teleponnya dengan saya.
Sekitar lima tahun lalu ada wacana bahwa rumah tersebut akan dijadikan museum oleh Pemerintah Daerah Gresik. Namun, keluarga besar Harun Thohir berkeberatan. Sebab, jika rumah tersebut dibangun Pemda untuk dijadikan museum, tanahnya akan ikut diambil.
“Harun kecil itu susah diatur dan pemberani. Jika ngambek ia tidur di pemakaman umum di samping makam Waliyah Zainab, begitu juga ketika ia bolos mengaji,” Muhammad Salim menuturkan. Ia mendapatkan cerita itu dari keluarganya.
Menurutnya, keluarganya menerima kompensasi dari pemerintah atas pengorbanan Harun Thohir. Ketika masih hidup, pemerintah memberikan neneknya (ibu dari Harun Thohir) sebuah rumah di Lagoa Jakarta Utara– sekarang sudah dijual—dan uang tunjangan setiap bulan, serta memberangkatkannya ke Mekkah untuk berhaji. Bapak dan neneknya juga diundang ke Jakarta untuk menghadiri upacara Hari Pahlawan setiap tanggal 10 November sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto hingga Presiden Megawati. “Kami juga selalu diundang setiap perayaan Hari Korps Marinir pada 15 November, jika bukan ke Surabaya, ke Jakarta,” ujar pria yang menjadi Kepala Desa Diponggo sejak 2013 itu.
Kondisi rumah kelahiran Harun Thohir memang perlu dibenahi dan ditata jika ingin dijadikan tujuan wisata edukasi. Keluarga Harun Thohir memang ada rencana menjadikan rumah tersebut sebagai museum kecil. “Kami perlu berembuk dulu. Akan diperbaiki pelan-pelan,” Muhammad Salim menambahkan. Nama Harun Thohir diabadikan menjadi nama bandar udara di Pulau Bawean: Bandar udara Harun Thohir
Bersambung