Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jelajah Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur Bagian 3: Atraksi Alam Bawean

Hari kedua kami di Pulau Bawean adalah hari yang cukup panjang. Kami berencana ke pulau dan danau.  Saya sangat antusias dengan rencana perjalanan kami dan sudah menyiapkan perlengkapan untuk snorkeling. Kulit saya sudah merindukan air laut. Karena itu, saya berharap langit akan cerah sepanjang hari.

Iswanto dari Baweanis Tour menjemput kami  di penginapan pukul 8 pagi. Di bawah terik matahari pagi, mobil melaju menuju Pelabuhan Pamona di Desa Sidogedungbatu, yang terletak di bagian tenggara Pulau Bawean.

Pelabuhan Pamona, Desa Sidogedungbatu, Pulau Bawean

Pelabuhan Pamona adalah gerbang yang menghubungkan Pulau Bawean dan Pulau Gili- Noko, tujuan kami. Air laut yang surut di pelabuhan membuat perahu-perahu yang sedang bersandar seperti menancap di lumpur. Saya menukar baju saya dengan pakaian untuk snorkeling di kamar mandi sebuah musola kecil yang ada di dekat dermaga. Pelabuhan Pamona memang pelabuhan untuk nelayan dan jalur angkutan ke Pulau Gili Noko. Tidak ada warung di situ. Tapi, kami sudah membawa bekal air minum, makanan, dan buah mangga pemberian isteri Kepala Desa Diponggo kemarin.   Kami menunggu di dalam mobil sementara Iswanto mencarikan perahu. Jam belum menunjukkan pukul 9 tapi di luar panas matahari tampak demikian menyengat. 

Perahu yang membawa kami ke Pulau Gili Noko, Bawean

Pulau Gili Noko

Setelah mendapat perahu, kami pun naik. Jarak antara Pelabuhan Pamona dan Pulau Gili Noko kurang lebih lima kilometer. Karena itu, dari kejauhan kami sudah dapat melihat pulau itu. Perjalanan sangat menyenangkan, relatif tidak ada ombak, langit pun sangat cerah. Sebelum ke Gili Noko, kami menuju taman laut terlebih dulu untuk snorkeling. Ada lebih dari satu spot snorkeling di perairan Noko Gili. Iswanto memilihkan yang dekat pulau karena saya meminta perairan yang dangkal. 

Taman laut di Gili Noko, Pulau Bawean (video oleh Baweanis Tour)

Di perahu, saya hanya perlu melepaskan celana luar saya dan memakai peralatan snorkeling, lalu, byur! Tubuh saya yang merindukan air laut pun masuk ke dalam air.  Ikan-ikan kecil langsung memencar mungkin kaget ada benda yang masuk tiba-tiba.  Tidak lama, mereka langsung merapat ke tepi kapal begitu teman seperjalanan saya Heni memberikan remah-remah roti dari atas kapal. Kawanan ikan warna-warni cukup banyak. Saya pun mulai berenang melihat kiri-kanan terumbu karang yang masih utuh.  Sesekali saya merapat ke kapal  untuk minum karena kehausan, setelah itu saya  melanjukan lagi snorkeling.

Snorkeling di taman laut Gili Noko, Pulau Bawean (Foto: Heni Puspitasari)

Saya merasa cukup nyaman karena tidak merasakan terpaan ombak kuat selama berenang. Senang rasanya menyaksikan keindahan terumbu karang  dalam berbagai bentuk. Tidak terasa hampir satu jam saya berenang ke sana kemari. Karena ada tujuan lain saya memutuskan untuk menyudahi aktifitas renang saya. 

Pulau Gili, Bawean

Perahu lalu melaju ke pulau kecil berpasir putih tanpa penghuni: Pulau Noko. Air laut yang surut membuat perahu kami tidak bisa merapat ke pantai, sehingga kami harus berjalan menyeberang melewati perairan selutut. Setelah agak terseok-seok, sampailah kami di pantai.

Perairan Gili Noko, Bawean. (Foto: Baweanis Tour)

Di situ ada warung kecil yang menjual minuman dan makanan ringan, kami meletakkan barang-barang kami, sementara saya mencari tempat untuk membilas . Ada satu kamar mandi untuk pengunjung yang dikunci. Penjaga membukakan kunci, saya pun dapat membilas tubuh saya yang cukup lengket kena air laut. Kondisi kamar mandinya lumayan bersih.  Setelah menggunakan kamar mandi tersebut saya memberi sang penjaga uang kecil.

Pulau Noko, Bawean (Foto: Baweanis Tour)

Pulau Gili Noko adalah dua daratan (pulau) yang terpisah laut ketika air pasang.  Pulau yang jauh lebih luas adalah Pulau Gili yang berpenghuni sedangkan Pulau Noko tidak.  Pulau Gili luasnya kurang lebih 5000 meter persegi dan dihuni kurang lebih oleh 700 orang.

Bapak Amiruddin, warga Pulau Gili Noko, Bawean

Kami bertemu dengan Bapak Amiruddin yang saat itu sedang berleha-leha di balai dekat warung kecil.  Amirudin, 60 tahun, boleh dibilang salah seorang sesepuh di Pulau Gili Noko. Menurutnya, dahulunya Pulau Gili yang tidak berpenghuni didatangi oleh dua orang yang nama julukannya Juju Tokang dan Mbah Ratu. Kedua tokoh yang terbilang sakti itu lalu membuat sumur untuk mendapatkan air tawar. Mereka membuat tiga sumur yang sampai sekarang masih mengeluarkan air.  Dengan adanya air tawar itu, beberapa orang mulai berdatangan. Para pendatang itu pun mulai berkebun dan bermukim.  Saat ini sebagian besar dari warga bekerja sebagai nelayan dan berkebun.  “Walaupun air tawar tersedia, warga kesulitan listrik pada malam hari,” kata Amiruddin yang kelahiran Pulau Gili.  “Listrik dari tenaga surya itu hanya tahan beberapa jam saja pada malam hari.” 

Pulau Noko, Bawean

Pulau Noko adalah pulau kecil tak berpenghuni yang merupakan daratan hamparan pasir putih saja. “Tahun 2004 mulailah ditanami cemara udang  di Pulau Noko,” ujar Amirudin yang sekarang turut membantu merawat Pulau Noko.  Mengitari Pulau Noko hanya perlu setengah jam saja.  Fasilitas di Pulau Noko memang masih terbatas.  Hanya ada satu tempat bilas dan satu warung kecil.  Pantainya berpasir putih masih alami dan landai sehingga cocok untuk berenang.  Pulau Noko boleh dibilang sedikit dari pulau kecil dengan pantai pasir putih yang masih alami.    Yang perlu dijaga tentu saja kebersihan pulau dan pantainya.  Pada malam hari, daratan pasir yang menjadi penghubung deng Pulau Gili akan tertutup air pasang.  

Pulau Gili Noko, Bawean (Foto: Baweanis Tour)

Rusa Bawean

Selepas dari Pulau Noko kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Mombhul yang ada di sisi timur Pulau Bawean. Di sana terdapat penangkaran rusa Bawean. Kawasan Mombhul yang luas dikelola oleh pihak swasta sehingga cukup terawat. Pantai Mombhul berupa tebing dan menjadi spot untuk melihat matahari terbit. Di bawah tebing tersebut terdapat dermaga yang dapat membawa penumpang ke Pulau Gili Noko. Ada juga monumen patung si Atung, maskot Asian Games 2018. Siang hari yang terik menjadi sedikit teduh dengan pepohonan yang rindang. Setelah beristirahat sejenak, kami melanjutkan ke tempat penangkaran rusa Bawean. 

Maskot Asian Games 2018 Atung, Pantai Mombhul, Bawean. (Foto: Baweanis Tour)

Bagi pemerhati hewan yang hampir punah, Bawean dikenal akan rusanya yang endemik. Tahun 2018 ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games, rusa Bawean (Axis kuhlii ) menjadi maskotnya.  Di Pulau Bawean, rusa Bawean hanya ditemukan di sisi barat pulau, yaitu di Pulau Tanjung Cina, Gunung Besar, dan Gunung Mas.  Rusa Bawean adalah rusa galur murni karena tidak tercampur dengan spesies rusa lainnya.  International Union for Conservation of Nature mengategorikan rusa Bawean sebagai spesies kritis (critically endangered) sejak tahun 2008. Di Indonesia rusa Bawean termasuk satwa yang dilindungi dan tidak boleh diburu. 

Pantai Mombul, Bawean. (Foto: Baweanis Tour)

Tempat penangkaran tersebut sangat sederhana hanya berupa lahan hutan sekunder yang dibatasi pagar kawat. Di situlah kawanan rusa Bawean hidup.  Tubuh mereka terlihat mungil. Mereka makan dedaunan dari dahan-dahan pohon yang sengaja ditebas. 

Penangkaran rusa Bawean, Pantai Mombhul, Bawean. (Foto: Baweanis Tour)

“Sebagian mereka adalah rusa Bawean yang dipindahkan dari bagian timur akibat gempa,” Iswanto menjelaskan. Tidak jelas berapa ekor rusa Bawean yang ada di penangkaran tersebut. Terlihat beberapa anakan, ada juga rusa jantan yang sedang bermalas-malasan. Senang rasanya dapat melihat rusa Bawean dari dekat, sekaligus menyapanya secara langsung.

Rusa Bawean Axis kuhlii spesies endemik Pulau Bawean.

Danau Kastoba

Sudah lewat tengah hari kami harus mengisi perut. Sayangnya, tidak ada warung makan di Pantai Mombhul.  Iswanto mengatakan kami akan mampir di warung sebelum menuju Danau Kastoba.  Jika dilihat di peta, dari Pantai Mombhul ke Danau Kastoba tinggal ditarik garis saja dari timur ke tengah. Tetapi, tidak ada jalan pintas seperti itu, sehingga kami harus melewati jalan penghubung pulau ke arah utara dulu.  Seperti biasa kami menikmati perjalanan melewati kawasan pemukiman dan juga hutan.  Kami mampir di warung untuk mengisi perut. Seperti biasa kami memesan ikan bakar. Setelah itu, mobil kembali melaju menuju Dusun Candi, Desa Peromaan, Kecamatan Tambak. 

Dhurung di rumah warga di Dusun Candi, Desa Peromaan, Kecamatan Tambak, Bawean.

Kami melewati beberapa dusun di Desa Peromaan. Yang menarik dari Desa Peromaan adalah keberadaan dhurung yaitu bangunan tradisional berbahan kayu dengan atap segitiga yang aslinya berdaun nipah kering yang terdapat di muka rumah.  Di dalam langit-langit atap itu biasa disimpan padi-padian, tapi sekarang berganti fungsi untuk penyimpanan barang lain. Dhurung menjadi tempat untuk beristirahat dan bercengkerama. 

Gerbang ke Danau Kastoba, Pulau Bawean. (Foto: Baweanis Tour)

Gerbang menuju Danau Kastoba sudah pudar bacaannya. Mobil diparkir di pelataran dekat gerbang. Selebihnya kami harus berjalan kaki.  Tanjakan di jalan beraspal itu cukup terjal sampai kami tiba di tepi hutan. Dari tepi hutan itulah kami berjalan kaki di atas jalan setapak yang cukup naik turun menyusuri hutan. 

Jalan menuju hutan ke Danau Kastoba, Bawean.

Untungnya seharian tidak turun hujan jadi jalanan tidak licin, hanya di bagian tertentu yang tanahnya agak basah. Kami perlu berhati-hati karena di beberapa bagian jalan setapaknya cukup sempit dan hanya dapat dilalui satu orang. Sepanjang jalan kami dihibur dengan suara-suara alam seperti kicauan burung atau pun suara serangga.  Suasana pun terasa sunyi begitu kami memasuki bagian dalam hutan. Danau Kastoba terletak pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut, lumayan juga untuk didaki. “Tinggal sedikit lagi,” kata Iswanto kepada kami yang sudah terengah-engah.  Perjalanan dari tempat parkir menuju danau memakan waktu kurang lebih 45 menit dengan kecepatan standar.  

Perjalanan menuju Danau Kastoba. (Video: Baweanis Tour)

Begitu tiba di tepi danau, saya sangat terpukau dengan keindahannya yang masih alami. Sekeliling danau yang luasnya 725 hektar itu adalah hutan belukar sehingga terlihat masih asri.  Belum ada sentuhan bangunan. Yang sangat disayangkan adalah tidak adanya tempat sampah, sehingga pengunjung yang tidak bertanggung jawab membuang begitu saja sampah di tepi danau. 

Jalan menuju Danau Kastoba, Bawean.

Suasana di pinggir danau demikian syahdu, sunyi dan damai. Ingin sekali saya berlama-lama di sana menikmati ketenangannya dan suasananya yang sangat alami. Pikiran saya pun melayang membayangkan bagaimana Danau Kastoba terbentuk.

Di tepi Danau Kastoba. (Foto: Heni Puspitasari)

Jutaan tahun lalu Pulau Bawean adalah kawasan gunung api. Gunung api terbesar adalah gunung api Balibak. Letusan Gunung Balikbak membentuk kaldera yang sekarang menjadi Danau Kastoba. Demikian uraian dari dosen teknik geologi Universitas Gadjah Mada Agus Hendratno, S.T., M.T.

Pemandangan asri dan alami di tepi Danau Kastoba, Bawean.

Sedangkan versi hikayat, terbentuknya Danau Kastoba akibat dicabutnya satu-satunya pohon keramat di Pulau Bawean. Pohon itu dicabut  beserta akarnya oleh raja jin kemudian dilempar ke laut.  Tanah bekas tumbuhnya pohon itu menjadi danau Kastoba dan pohon beserta akarnya terbalik di laut menjadi batu karang di sebelah timur Pulau Bawean. Demikian yang ditulis oleh Sudjijono dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang dalam makalahnya Leganda dari Pulau Bawean.

Danau Kastoba kaldera gunung api purba di Pulau Bawean. (Foto: Heni Puspitasari)

Meskipun asyik menikmati kesunyian di tepi Danau Kastoba, lama-kelamaan saya terusik juga karena dikerubuti nyamuk hutan yang gigitannya pedih. Kami pun perlahan-lahan beranjak pergi meninggalkan Danau Kastoba yang menurut saya danau terindah yang pernah saya lihat di Indonesia sejauh ini. 

Bersambung 

Leave a Comment