Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Museum Ki Pahare: Museum Pertama di Indonesia Berada di Terminal Bus

Saya terkesan juga dengan Sukabumi–kota kecil yang berjarak kurang lebih 115 kilometer di selatan Jakarta.  Sebab, kota seluas kurang lebih 48 kilometer persegi ini memiliki beberapa museum. Di antara museum-museum itu, yang menarik perhatian saya adalah Museum Ki Pahare yang mendeskripiskan dirinya sebagai museum yang menyimpan benda-benda peninggalan prasejarah yang berasal dari kawasan Sukabumi, Jawa Barat. 

Rumah Jadi Museum

Saya pun memutuskan untuk mendatangi Museum Ki Pahare dengan ojek online dari tempat saya menginap. Alamat yang tertera di aplikasi hanya menyebut Jalan Baros KM 5, tanpa ada nomor. Sesampai di Jalan Baros, kepala saya menoleh ke kiri dan kanan jalan untuk mencari rumah yang bertuliskan “museum”. Motor yang saya tumpangi menepi di lokasi yang diperkirakan dekat dengan museum. Penjaga toko yang saya tanyai menunjuk ke arah sebaliknya, “Di pinggir jalan, dekat bengkel.” Pengemudi motor membelokkan motornya menuju titik yang dimaksud.  Tapi, di tempat itu pun, saya tidak  melihat papan nama museum, hanya sebuah rumah kosong yang tampak tak  terurus. “Sudah pindah ke dekat sekolahan,” jawab penjual durian. Ia memberi petunjuk ke pengemudi arah yang dimaksud. Saya kembali menaiki motor dengan rasa penasaran, motor pun melaju.

Memasuki jalan yang cukup besar itu, saya kembali menajamkam pandangan untuk mencari  papan nama museum. Seorang penjual yang kami tanyakan menyebut, “Di belakang sekolah, masuk ke dalam gang.”  Saya tambah penasaran masa sih museum ada di dalam gang. Setelah agak berputar-putar, mata pengemudi menangkap tulisan “Museum Ki Pahare” lalu mengikuti jalan itu.

Saya harus turun dari motor dan berjalan kaki melewati gang karena letak  museum memang menjorok di dalam.  Tiba di pekarangan rumah yang seperti rumah tinggal itu,  saya membatin,  di manakah museumnya.  Saya melongok ke dalam jendela rumah yang sedikit terbuka itu sambil mengucapkan salam. Tidak terlihat benda apa-apa, apakah benar ini Museum Kipahare, pertanyaan itu menggantung di kepala saya. 

Museum Ki Pahare ketika menempati rumah orang tua dari Ketua Yayasan Ki Pahare (Foto: Museum Ki Pahare)

Kemudian seorang laki-laki dan seorang perempuan keluar, “Sampurasun,” saya menyapa. “Rampes,” jawabnya. “Ini Museum Kipahare?” saya langsung melontarkan pertanyaan yang dari tadi mengganggu. Kemudian terjadilah percakapan di antara kami. Ternyata lokasi museum sudah pindah. “Di dalam terminal,”  kata si bapak. Saya lebih bingung lagi, membayangkan museum berada di terminal bus.  “Anak saya penjaga Museum Ki Pahare,” kata si bapak sambil menghubungi sang anak melalui telepon. Ia ingin memastikan bahwa anaknya ada di tempat karena saya akan mendatangi museum sebentar lagi. Pengemudi ojek online kembali mengantar saya.

Mendekati Terminal A K.H. Sanusi, saya melihat  tulisan Museum Ki Pahare di bangunan yang berada di tengah-tengahnya. Perjalanan mencari Museum Kipahare berakhir sudah. 

Seorang lelaki muda menyambut saya, dipastikan dialah Kang Sandi, putera bapak yang rumahnya saya datangi tadi. “Selamat datang di Museum Ki Pahare,” ucapnya sambil tersenyum. “Alamat di aplikasi mengapa belum diganti ya Kang,” saya langsung memberondonginya dengan pertanyaan. “Padahal di mesin pencari sudah berubah,” saya menambahkan. Kang Sandi memohon maaf ketika saya menceritakan perjalanan saya mencari Museum Ki Pahare. Dia berterus terang kalau tidak tahu cara mengganti alamat di aplikasi dan memang belum ada yang melakukan penggantian alamat.

Museum Berbasis Masyarakat

Museum Ki Pahare tidak dapat dipisahkan dari Paguyuban Ki Pahare suatu komunitas di Sukabumi yang bertujuan untuk melestarikan warisan budaya.  

Dalam mengemban misinya tersebut, Paguyuban Ki Pahare aktif di berbagai kegiatan, di antaranya, menjadi bagian dari tim penelitian yang dilaksanakan Balai Arkeologi Jawa Barat, menghidupkan kembali berbagai upacara adat Sunda, mengamati dan mendata obyek cagar budaya,  serta mengkaji sejarah lokal yang bersumber dari pantun buhun (ajaran kuno para leluhur Sunda), cerita rakyat, dan naskah kuno.  Paguyuban  yang sekarang bernama Yayasan Ki Pahare itu didirikan 25 Agustus 2016 dengan Sandi Samba Wijaya, 42, sebagai ketuanya. Yayasan Ki Pahare juga sering diundang untuk menjadi nara sumber dalam kegiatan kebudayaan serta pengembangan destinasi wisata di Jawa Barat.

Sandi Samba Wijaya, Ketua Yayasan Ki Pahare, kiri berjongkok (Foto: Koleksi pribadi)

Sebagai upaya untuk melestarikan budaya Sunda, Sandi dan kawan-kawannya membangun jejaring dengan merangkul  bukan saja komunitas di bidang kebudayaan tapi juga lintas sektor, seperti  komunitas terbesar di Sukabumi, Komunitas Otomotif Sukabumi.  “Pelestarian budaya harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat, mereka harus menjadi bagian itu,” Sandi yang juga warga Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi menjelaskan. Saat ini, sudah ada 20 komunitas yang terjaring. 

Museum Ki Pahare menjadi satu-satunya museum berbasis komunitas di Jawa Barat dan  mendapat  pembinaan langsung dari Balai Arkeologi Jawa Barat.

Museum Pertama di Terminal Bus

Sandi yang sehari-hari mengajar Bahasa Sunda di sebuah sekolah dasar di Sukabumi menceritakan perjalanan museum yang cukup mengharukan.

Ketika diresmikan pada 25 April 2017 oleh Wali Kota Sukabumi, Museum Ki Pahare menempati bangunan milik pemerintah daerah (Perpustakaan Kecamatan Baros) di Jalan Raya Baros Km.5. Museum  Ki Pahare  kemudian menjadi  yang terdepan sebagai pusat informasi, pelestarian kebudayaan, dan pendidikan tentang warisan budaya Sunda khususnya di Sukabumi, dengan pengunjung dari berbagai kalangan.  Tapi, pada 2021 mereka harus angkat kaki  karena bangunan itu  akan difungsikan kembali oleh pemiliknya. Apa daya?

Kang Sandi kemudian meminjam rumah tinggal orangtuanya yang terletak di Jalan Garuda Kecamatan Baros untuk dijadikan museum dari 2022 hingga 2023, setelah sebelumnya direnovasi. “Hanya sebagian benda-benda yang dipajang,” jawab Sandi ketika saya menanyakan bagaimana mungkin benda yang demikian banyak dipamerkan di rumah tinggal. 

Ada kejadian menarik pada awal 2023, Kepala Terminal A K.H. Ahmad Sanusi di Kota Sukabumi yang tertarik pada kebudayaan diundang untuk mengikuti upacara membersihkan pusaka di Museum Ki Pahare. Melihat kondisi museum, ia meminta Sandi untuk membuat permohonan ke Dirjen Perhubungan Darat di tingkat pusat agar dapat memakai bangunan di Terminal A K.H. Sanusi sebagai ruang pamer museum.  Gayung bersambut,  Sandi menerima balasan dan diajak bertemu. Kebetulan sang pejabat baru kembali dari Korea Selatan. Di negara itu, ada terminal bus yang memiliki galeri. Ia pun terinspirasi.  Jadilah, Museum Ki Pahare menjadi proyek percontohan sebagai museum pertama di Indonesia yang berada di terminal bus. Yayasan Ki Pahare mendapatkan hak guna pakai bangunan dengan persyaratan tertentu. 

Bangunan yang sekarang digunakan sebagai ruang pamer museum  itu sebelumnya adalah tempat penjualan karcis yang semi terbuka. Ada dua sisi ruang  tapi baru satu sisi yang dibenahi sebagai ruang pamer setelah ditutup dan dipercantik. Museum Ki Pahare di Terminal A K.H. Ahmad Sanusi  dibuka kembali untuk umum pada 1 Oktober 2023.

Museum Ki Pahare sekarang menempati bangunan di Terminal A K.H. Ahmad Sanusi Kota Sukabumi, Jawa Barat (Foto: Museum Ki Pahare)

Semangat Swadaya

Nama Ki Pahare berasal dari nama pohon yang juga disebut paku jajar   dan suci domas.  Tanaman Ki Pahare dikenal oleh masyarakat adat Sunda dan merupakan lambang Kerajaan Pajajaran yang bersanding dengan Kujang, senjata tradisional. Selain itu, Ki Pahare juga salah satu pohon yang dikeramatkan. 

Contoh dapur tradisional Sunda di Museum Ki Pahare

Koleksi museum di antaranya artefak dan arca temuan, batu lingga, senjata tradisional, mata uang kuno, display dapur tradisional Sunda beserta peralatannya dan foto-foto reproduksi masa kolonial.  Penataan koleksi museum  terlihat cukup rapi. Hampir setiap benda memiliki deskripsi. “Benda pusaka seperti keris, golok atau pun tombak merupakan titipan dan hibah masyarakat; peninggalan purbakala merupakan hasil temuan atau penggalian, sedangkan dokumen-dokumen berasal dari masyarakat,” ujar Sandi yang menerima penghargaan Pegiat Budaya di Kota Sukabumi tahun 2023.  “Ada juga dokumen yang berasal dari kontributor di Belanda dan Prancis yang nenek moyangnya pernah tinggal di Sukabumi sebagai misionaris dan penyusun kamus Bahasa Sunda,”  ia menambahkan. 

Koleksi artefak temuan di Museum Ki Pahare

Pengelolaan Museum Ki Pahare dilaksanakan dengan semangat sukarela dan gotong royong. Pembuatan deskripsi untuk artefak hasil temuan, misalnya, dibantu secara sukarela oleh mahasiswa arkeologi Universitas Indonesia tingkat akhir. “Ia yang menawarkan diri untuk membantu museum, melakukan inventaris, mengukur, membuat deskripsi, dan label pada benda-benda hasil temuan,” ujar Sandi.  Untuk keilmuwan, Museum didukung oleh Balai Arkeologi Jawa Barat.  

Ruang pamer Museum Ki Pahare di Terminal A K.H. Ahmad Sanusi Sukabumi

Ketiadaan dana tetap membuat Sandi dan kawan-kawannya menjadi kreatif untuk menata Museum. Beberapa tempat display di ruang pamer merupakan barang sisa yang mereka poles ulang. “Biaya operasional museum berasal dari donatur, pengurus dan penyisihan kegiatan UMKM,” kata Sandi yang dapat bertutur panjang lebar tentang sejarah dan budaya Sunda.  Untuk pengumpulan dana, biasanya Sandi melakukan rereongan (patungan) pada kegiatan kebudayaan Museum. 

Sehari-hari Museum Ki Pahare dikelola oleh empat orang secara bergantian. Jika yang satu sibuk, yang lain menggantikan. Mereka melakukannya dengan suka rela.  Mengapa tidak menarik dana yang minim dari pengunjung? “Kami belum berani pasang tarip kunjungan. Titipan Leluhur jangan sampai museum dikenakan tarip, sampai kapan pun gratis,” jawab Sandi dengan bersahaja. Meskipun demikian, Museum menyediakan kotak donasi bagi pengunjung yang hendak berkontribusi. 

Museum Ki Pahare di Terminal A K.H. Ahmad Sanusi, Sukabumi, Jawa Barat

Masih banyak yang harus dikerjakan oleh Sandi dan kawan-kawannya untuk mewujudkan Museum Ki Pahare yang modern tapi bernuansa lokal. “Kami masih memerlukan biaya sekitar Rp 40 juta (untuk membenahi ruang pamer),” kata Sandi. Impian mereka menjadikan Museum  Ki Pahare sebagai pusat informasi,  pelestarian, dan tempat pembelajaran kebudayaan Sunda khususnya.


Info:

Lokasi Museum: Komplek Terminal Tipe A K.H. Ahmad Sanusi, Sudajaya Hilir, Kecamatan Baros, Kota Sukabumi.

Info kunjungan melalui WA : 0812-1923-2662

Leave a Comment