Kebun Raya Gunung Tidar
Kota Magelang, Ibukota Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, punya keunikan dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Tepat di tengah kota yang berpenduduk 128.264 jiwa itu (angka statistik pertengahan 2023) menjulang Gunung Tidar. Gunung Tidar mungkin lebih tepat disebut bukit, sebab tingginya kurang lebih 500 meter di atas permukaan laut. Jalur pendakiannya pun relatif terjangkau karena sudah ditata dengan anak tangga berlantai.
Sejak tahun 2021, kawasan Gunung Tidar berstatus sebagai kebun raya berdasarkan keputusan Walikota Magelang. Dengan luas sekitar 700.000 meter persegi, Kebun Raya Gunung Tidar berfungsi sebagai kawasan konservasi, pendidikan, penelitian, dan wisata.
Jarak gerbang Gunung Tidar kira-kira 500 meter dari tempat saya menginap di Jalan Jenderal Sudirman. Pagi itu langit yang tanpa awan sangat mendukung untuk mendaki Gunung Tidar. Sebelum mendaki saya menyempatkan diri untuk sarapan. Di lahan parkir dekat gerbang menuju pintu masuk Kebun Raya terdapat beberapa warung makan. Salah satunya menghidangkan sup senerek, sup khas Magelang. Warung dipenuhi pengunjung yang sarapan dengan sup senerek yang disantap dengan nasi putih.
Dari gerbang menuju pintu masuk Kebun Raya, saya menapaki jalan aspal yang agak menanjak. Jalannya cukup ramai karena menjadi perlintasan warga Kelurahan Magersari yang tinggal di kaki Gunung Tidar. Saya melewati beberapa penjual sovenir yang berdagang di Taman Lembah Tidar. Sementara saya berjalan, suara tabuhan gendang terdengar riuh-rendah terbawa angin. Suara itu berasal dari panggung pertunjukan yang letaknya tidak jauh.
Setelah berjalan kurang lebih 5 menit, saya sampai di muka pintu masuk Kebun Raya Gunung Tidar. Dengan membayar karcis Rp 5000, saya sudah bisa masuk ke kawasan Kebun Raya. Suasana di dalam Kebun Raya terasa kontras dengan di perkampungan yang baru saya lalui. Sinar matahari yang terik terhalang oleh daun-daun pepohonan yang rimbun. Kulit saya pun langsung merasakan embusan angin segar. Kicauan burung yang bersahut-sahutan mulai terdengar.
Ratusan tahun lalu, Gunung Tidar adalah bukit gundul hingga tahun 1960 ketika dilakukan penghijauan dengan pohon pinus (Pinus merkusii). Penghijauan kembali dilakukan dengan menanam pohon-pohon kayu seperti damar dan mahoni yang sekarang tumbuh tinggi di tepi tangga-tangga pendakian.
Gunung Tidar juga terkenal dengan keberadaan kera ekor panjang (Macaca fascicularis) yang sering turun bergerombol ke kaki gunung mencari makan dari pengunjung. Untungnya ketika sedang mendaki, saya tidak menjumpai mereka.
Gunung Tidar dan Hikayatnya
Tidar berasal dari dua kata bahasa Jawa mukti dan kedadar. Mukti artinya berhasil dan kedadar berarti ditempa atau diuji. Pada konteks masa lalu, mereka yang berhasil mencapai puncak Gunung Tidar adalah yang telah berhasil menghadapi seluruh ujian.
Kenyataannya, saya memang seperti menempuh ujian fisik, terengah-engah sewaktu mendaki satu per satu anak tangga sambil menata napas. Penataan jalur anak tangga–yang seluruhnya berjumlah 1002–untuk mendaki sudah cukup baik. Di beberapa titik disediakan tempat istirahat.
Makin ke atas, udara makin terasa sejuk, suasana pun semakin tenang. Senang rasanya mendaki di tengah-tengah pohon-pohon cemara dan kayu tropis yang seakan-akan mencakar langit. Ketika menanjak saya melewati beberapa makam Tionghoa yang sudah agak kabur batu nisannya.
Mendekati puncak , terlihat petunjuk ke arah makom (petilasan). Tidak terasa, kaus yang saya kenakan sudah basah dengan keringat. Pendakian itu cukup menguras tenaga saya.
Ada beberapa petilasan di puncak Gunung Tidar yang banyak dikunjungi: petilasan Syekh Subakir, Sunan Geseng, Kyai Panjang, dan Kyai Semar. “Petilasan-petilasan tersebut dibangun oleh orang dari Jakarta,” kata Wahyuningsih, puteri dari Ibu Sutidjah, Juru Kunci Gunung Tidar.
Syekh Subakir adalah salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, yang petilasannya juga ditemukan di Kabupaten Tuban, Jawa Timur; Sunan Geseng merupakan pengikut setia Sunan Kalijaga, juga salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, sedangkan Kyai Panjang merupakan murid dari Syekh Subakir. Peziarah petilasan-petilasan tersebut rata-rata datang dalam rombongan dan berasal dari berbagai penjuru Pulau Jawa.
Di area puncak, kontur tanah sudah relatif datar. Puncak Gunung Tidar berupa tanah yang sangat lapang. Di tepiannya ditumbuhi pohon-pohon rimbun. Di bawah pohon yang teduh itu berdiri warung-warung penjual minuman dan makanan, bahkan cenderamata.
Sebuah monumen Akademi Militer didirikan di puncak lapangan yang sering dijadikan sebagai tempat kegiatan akademi pencetak calon perwira TNI Angkatan Darat itu. Hutan di lereng barat Gunung Tidar itu pula menjadi tempat penggemblengan para calon perwira militer.
Tepat di tengah-tengah lapangan terdapat tugu kecil yang ketiga sisinya tertulis huruf Jawa Kuno “Sa”. Tugu Sa Sa Sa [akronim dari sapa salah seleh yang berarti sopo, shalat, slamet atau siapa yang shalat (mengingat Tuhan) akan selamat]. Menurut hikayat, tugu Sa Sa Sa adalah tugu pusaran Tanah Jawa atau titik tengah Pulau Jawa. Secara geografis Gunung Tidar di Kota Magelang memang berada di tengah-tengah Pulau Jawa, jika ditarik garis lurus Utara-Selatan atau pun Barat-Timur.
Di puncak ada pula gardu pandang. Ketika saya mendekati gardu pandang, sebagian pemandangan terhalang kabut dan juga pucuk-pucuk pohon. Sebuah Petunjuk mengarahkan saya ke petilasan Kyai Semar yang berbentuk kerucut dan dicat kuning emas.
Kyai Semar atau Eyang Semar merupakan tokoh mitologi spiritual Indonesia. Menurut Guru Besar Antropologi Sastra Universitas Negeri Yogyakarta Prof Suwardi Endaswara, Eyang Semar adalah pelambang guru sejati dalam khazanah spiritual Jawa. Guru sejati dalam konteks pengendali seseorang untuk berada di jalan yang benar.
Dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Fikha Nada Naililhaq dari Universitas Gajah Mada menulis bahwa ada indikasi kepercayaan masyarakat sekitar Gunung Tidar yang menyatakan bahwa Kyai Semar merupakan utusan Tuhan yang bertugas menjaga Tanah Jawa.
Grebeg Suro Gunung Tidar
Kedatangan saya ke Kota Magelang bertepatan dengan awal bulan Suro, bulan pertama pada penanggalan Jawa Islam. Pemerintah menetapkan tanggal 1 Muharram 1446 Hijriah bertepatan dengan 7 Juli 2024. Terkait itu, masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Tidar menyambutnya dengan peringatan Grebeg Suro yang dituangkan, di antaranya, dengan pentas seni budaya.
Penanggalan Jawa Islam menggabungkan penanggalan Islam (Hijriah) yang menggunakan penghitungan berdasarkan siklus bulan dan penanggalan Saka Hindu-Budha yang menggunakan penghitungan berdasarkan siklus matahari. Sultan Agung, Raja Kesultanan Mataram yang ke-3 menggabungkan kalendar itu pada saat pergantian tahun baru Saka 1555 bertepatan dengan 1 Muharram 1043 Hijriah atau 8 Juli 1633 Masehi. Penghitungan awal tahun penanggalan Jawa Islam tetap mengacu pada tahun Saka 1555.
Dalam penanggalan Jawa Islam tersebut bulan pertama dinamakan Suro. Kata Suro diambil dari Ashura hari kesepuluh pada bulan Muharram yang diperingati kaum Muslim sebagai hari keshahidan Hussain bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, yang terbunuh dalam peperangan di Karbala’ (sekarang di Irak).
Grebeg yang berasal dari bahasa Jawa nggrebeg mengandung makna menggiring raja, pembesar, atau pengantin. Upacara Grebeg Suro dilaksanakan menjelang awal tahun baru Jawa Islam. Warga yang tinggal di kaki Gunung Tidar yang tergabung dalam Paguyuban Abdi dan Juru Kunci Gunung Tidar sudah ketiga kalinya mengadakan Grebeg Suro secara besar-besaran. Yang unik, Grebeg Suro Gunung Tidar mengambil tahun Masehi 2024, bukan 1958, tahun Jawa Islam.
Sebuah panggung didirikan untuk pertunjukan kesenian tradisional yang berlangsung dua hari sebelum tanggal 1 Suro. Suasana sekitar panggung berubah menjadi pekan raya kecil. Kios-kios penjual yang menjajakan berbagai makanan kekinian dan minuman berjejer di pinggir panggung. Pengunjung yang berasal dari sekitar Kelurahan Mergasari banyak berdatangan untuk menyaksikan pertunjukan. Menurut Wahyuningsih, sejak dulu, Paguyuban dan masyarakat sekitar Gunung Tidar selalu mengadakan Grebeg Suro. Namun, kegiatan yang besar baru diadakan sejak 2022.
Kirab Grebeg Suro Gunung Tidar
Pembiayaan kegiatan Grebeg Suro diperoleh dari keluarga besar Paguyuban, kotak donasi, penjualan sovenir, dan juga sponsor yang jumlahnya tidak banyak. Pada Grebeg Suro tahun ini, ada 18 kelompok seni yang tampil di panggung pertunjukan. Mereka berasal dari berbagai kelompok kesenian yang ada di seputaran Magelang. Sebagian besar dari mereka sengaja tampil karena ingin mendapatkan berkah dari kegiatan dan para leluhur. “Sebagian penari bersuka rela dan hanya meminta uang transpor,” Wahyuningsih, yang merupakan perwakilan Paguyuban Abdi dan Juru Kunci Gunung Tidar, menambahkan.
Paguyuban menggelar kirab/pawai pada sore hari menjelang 1 Suro yang diikuti peserta dari kelompok seni, masyarakat sekitar, dan 5 ogoh-ogoh. Dengan diiringi Marching Band Buana dari Barisan Serba Guna (Banser) Nahdlatul Ulama Windusari, Magelang, barisan peserta kirab berjalan kaki menelusuri rute yang sudah ditentukan. Di barisan ada Abdi dan Juru Kunci Gunung Tidar, peserta dari luar daerah, ogoh-ogoh, marching band, dan kesenian Liong Samsi dari Gunung Sari, Windusari, Magelang. Pertunjukan barongsai dari Liong Samsi memberi warna tersendiri pada kirab Grebeg Suro tersebut. Pertunjukan itu dilakoni oleh anak-anak lokal yang berlatih dari saudara-saudaranya orang Tiong Hoa.
Warga pun berkerumun di tepi jalan menyambut kirab. Yang menonjol tentu saja ogoh-ogoh Kyai Semar yang tinggi dan besar. “Ogoh-ogoh Semar yang membuat kami,” ujar Wahyuningsih.
Puncak acara malam 1 Suro diperingati dengan Kirab Tumpeng menuju puncak Gunung Tidar. Ritual dilakukan di area makam Kyai Semar dengan tumpeng khusus makam. Ada juga gunungan berisi sayur-mayur yang diarak. “Sayur simbol kemakmuran, itu juga ungkapan rasa syukur kami,” Wahyuningsih menambahkan. Para peserta ritual meyakini bahwa melalui orang-orang yang punya kedudukan khusus, mereka dapat menerima berkah.
“Bagi kami bulan Suro bulan yang luar biasa, spiritualnya tinggi, ada makna yang terkandung pada malam Suro, ada wangsit dan bisa menjadi mediasi dengan roh-roh leluhur,” Wahyununingsih menjelaskan makna bulan Suro baginya. Karena itu, dirinya dan mereka yang masih meyakini kesakralan bulan Suro tidak melaksanakan hajatan seperti pesta pernikahan, sunatan, atau pun membangun rumah selama bulan Suro. “Mereka tidak ada yang berani melakukan hajatan,” katanya lagi.
Tekad Wahyuningsih untuk menggelar Grebeg Suro yang meriah seperti sekarang tidaklah mulus. Ia harus meyakinkan keluarga dan saudara-saudaranya tiga tahun lalu. Ia juga terkenang pada ayahandanya yang selalu menggelar layar tancap atau pun pertunjukan ketoprak menjelang 1 Suro. Setelah ayahnya meninggal, tradisi itu dilanjutkan oleh ibunya.
Wahyuningsih bersama Paguyuban ingin terus berjuang melaksanakan acara sambil melestarikan budaya, kearifan lokal, tradisi, dan yang terpenting, nilai spiritual dalam Grebeg Suro. Ia tetap bertahan tidak meninggalkan tradisi budaya yang dilakukan orang-orang terdahulunya. “Saya bangga terlahir sebagai orang Jawa, anak juru kunci (Gunung Tidar). Saya pun bangga dengan negara kita, budaya kita, dan tradisi kita,” ujarnya dengan penuh keyakinan.