Bermotor di Jalan Pantura Lasem-Rembang
Saya masih bermalas-malasan ketika terbangun dari tidur di sebuah penginapan di Lasem, Jawa Tengah. Setelah kemarin seharian penuh di bawah terik matahari mengunjungi tempat-tempat bersejarah bersama pemandu saya, Mas Pop, saya masih enggan bangkit dari tempat tidur. Lagi pula, saya belum ada rencana selain melanjutkan perjalanan ke Semarang pada tengah hari.
Saya meraih telepon genggam yang tergeletak di ujung dipan, untuk melihat kalau ada pesan masuk yang perlu saya jawab. Ternyata ada pesan dari Mas Pop. Isinya mengajak saya untuk menyambangi kota kelahirannya: Rembang, sekitar 13 kilometer di bagian barat Lasem. Tawaran menggiurkan yang langsung saya sabet. Serta-merta, saya membalas pesannya bahwa saya siap sekitar 1 jam lagi.
Kami mampir dulu untuk sarapan di penjual kue serabi yang mangkal di pertigaan tepat di belokan Jalan Raya Kragan-Rembang-Surabaya di Lasem. Makan dua potong kue serabi yang tembam itu membuat perut saya kenyang apalagi ditambah dengan minum teh manis.
Dengan perut yang sudah terisi, Mas Pop langsung tancap gas, ban sepeda motor pun melaju melindas jalan raya Pantai Utara (Pantura) yang menjadi penghubung kota-kota di pesisir utara Pulau Jawa. Untungnya, pagi itu belum banyak truk besar yang berseliweran sehingga berkendara motor cukup mengasyikan, lebih-lebih, sambil mendengarkan cerita yang keluar dari mulut Mas Pop tentang rumah-rumah lama Tiong Hoa yang berada di jalur Pantura Lasem tersebut. Mas Pop memang menguasai sejarah rumah-rumah Tiong Hoa di seputaran Lasem.
Pemandangan jalur Pantura Lasem-Rembang tidak melulu barisan toko, gudang, atau bengkel, tapi diselingi dengan ladang garam dan tambak ikan yang pada pagi hari dirubungi burung-burung bangau putih yang mencari makan.
Setelah kurang lebih 15 menit berkendara, Mas Pop membelokkan setir ke kanan menyeberangi jalan raya dan masuk ke jalan aspal yang terlihat bersih. Lalu berbelok lagi ke kiri melalui jalan desa yang di kiri dan kanannya berdiri rumah-rumah adat Rembang atau Joglo Rembang yang terlihat apik dan unik. Kami memasuki Desa Punjulharjo, suatu desa wisata di Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Penemuan Tak Diduga
Sepeda motor terus melaju Mas Pop menghentikan mesin ketika kami tiba di plang yang bertuliskan “Situs Perahu Rembang”. Kami sampai di kawasan tambak garam yang luas, yang istimewa, di tempat itulah pertama kali ditemukan perahu kuno.
Nama Desa Punjulharjo menjadi tenar setelah sebuah perahu kuno ditemukan di wilayah itu. Pagi 26 Juli 2008, lima warga Punjulharjo, Sudirman, Mulyadi, Masrikan, Ahmad Sulkan, dan Taifuq Rohman, tengah menggali tanah tidak produktif yang hendak dijadikan tambak garam. Sedang asyik menggali, tiba-tiba pacul mereka mengenai benda keras. Mereka terus menggali dan tampaklah oleh mereka potongan kayu. Mereka menduga bahwa kayu itu berasal dari pohon besar yang telah lama tumbang. Empat orang meneruskan penggalian, sementara seorang lagi mencari pembeli untuk benda yang diduga kayu tersebut. Ketika calon pembeli tiba di tempat dan melihat kondisi kayu, ia mengurungkan niatnya untuk membeli. Ia menduga potongan itu bukan kayu sembarangan, bisa jadi benda cagar budaya. Lalu mereka langsung melaporkan penemuan tersebut ke Kantor Desa, yang selanjutnya meneruskan ke instansi yang berwenang. Kisah asal mula penemuan perahu kuno itu dituturkan oleh Juru Pelihara Situs Perahu Kuno Rembang, M. Ihsan, 59 tahun.
Selanjutnya, para penggali itu meneruskan penggalian dibantu oleh penduduk setempat, sampai tampaklah perahu yang terbilang utuh. Perahu yang ditemukan relatif dalam kondisi lengkap, ada bagian haluan dan buritannya. Hal tersebut berbeda dengan penemuan di tempat lain yang biasanya hanya menemukan potongan papan atau bagian perahu lainnya. Inilah yang membuat penemuan perahu kuno di Desa Punjulharjo menjadi luar biasa.
M. Ihsan yang saat itu adalah ketua RT di wilayah tempat perahu kuno ditemukan turut menjadi sibuk. Berita penemuan perahu kuno menyebar cepat dan menimbulkan kehebohan, masyarakat sekitar berbondong-bondong datang ingin melihat perahu kuno hasil galian itu. Terlebih lagi, air rembesan yang tergenang di perahu diyakini sebagian orang dapat menyembuhkan penyakit. “Entah kebetulan atau tidak, ada warga yang tidak bisa berjalan karena sakit mencoba mengoleskan air itu ke kakinya, dan keesokannya bisa jalan,” M. Ihsan mengisahkan.
Pemasukan dari parkir pengunjung yang dibandrol antara Rp 1000-Rp 2000 dan dari air di perahu kuno cukup banyak jumlahnya. “Kurang lebih sebulan setelah penemuan, terkumpul Rp 50 juta,” kata pria yang menjadi Juru Pelihara Perahu Kuno sejak 2009 itu. “Dari jumlah itu, 50 persen untuk Desa yang kemudian dibagikan kepada pemilik lahan, yang menjaga, dan yang menemukan perahu. Sisanya, yang 50 persen untuk para juru parkir,” M. Ihsan menambahkan. Ledakan pengunjung mulai surut pada awal September 2008.
Perahu Kuno untuk Niaga
Menurut M. Ihsan, Balai Arkeologi Yogyakarta mulai melakukan penggalian serius tahun 2009 dengan melibatkan arkeolog Novida Abbas dan Gunadi Nitihaminoto. Bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Purbakala Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai mulai melakukan konservasi perahu kuno. Usaha itu dilakukan dari 2011-2018, di antaranya dengan mengeluarkan kandungan air yang ada di kayu perahu. Bukan saja ahli dalam negeri, arkeolog Prancis spesialis wilayah pesisir di Asia Tenggara, Pierre-Yves Manguin, juga turut meneliti perahu tersebut.
Hasil analisis terhadap kayu perahu menunjukkan bahwa papan perahu berasal dari kayu nyatoh (Palaquium sp.), sample kayu panjang berasal dari kayu kulim (Scorodocarpus borneensis), sedangkan pasak kayu berasal dari kayu putih (Melaleuca leucadendron). Semua pohon kayu tersebut tumbuh di Nusantara.
Teknik pembuatan perahu menggunakan teknologi penyambungan antar papan, yaitu teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn-pank and lushed plug technique). Dalam menyusun papan lambung kapal, setiap papan diikat atau “dijahit” satu sama lain menggunakan tali ijuk dan pasak kayu untuk memperkuat ikatan antarpapan. Teknologi tersebut lazim dijumpai pada tradisi pembuatan perahu di Asia Tenggara kepulauan sejak awal abad ke-3 hingga ke-13 Masehi.
Analisis radiokarbon terhadap sampel tali ijuk pengikat papan pada perahu menunjukkan kalibrasi 660-780 AD atau sekitar abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Dari itu, diperkirakan, perahu kuno berasal dari abad ke-7 Masehi. Masa itu satu periode dengan masa awal perkembangan Kerajaan Mataram Kuno di Pulau Jawa dan masa awal Kerajaan Sriwijaya di Sumatera.
Perahu kuno tersebut diperkirakan merupakan alat angkut di air yang dipakai untuk berniaga mengingat ukurannya yang cukup besar sekitar 15 x 5 meter. Dengan dimensi tersebut, perahu itu dapat menampung muatan barang dagangan yang cukup banyak.
Menjaga Warisan Peradaban Nusantara
Bersamaan dengan ditemukannya perahu kuno itu, ditemukan pula beberapa pecahan wadah berupa tembikar seperti cawan, periuk, dan kowi. Ada juga tongkat kayu dan bandul jaring dari logam, benda-benda tersebut oleh M. Ihsan disimpan di dalam kardus. Jika ada pengunjung yang tertarik melihat, ia akan mengeluarkan artefak-artefak tersebut.
Untung saja, ada kuliah kerja nyata (KKN) tematik dari mahasiswa Universitas Diponegoro dan Universitas Ivet Semarang. Mereka bersama-sama menyulap bangunan tempat bengkel kerja yang tidak terpakai di dekat situs menjadi semacam galeri yang menyimpan artefak yang ditemukan dari penggalian perahu. Sehingga, M. Ihsan, tidak perlu menyimpannya lagi di dalam kardus. Di bangunan sederhana itu pula, pengunjung dapat memperoleh keterangan tambahan dalam bentuk infografis yang dilengkapi dengan bar code tentang perahu kuno yang ditemukan.
KKN tematik mahasiswa dari Universitas Diponegoro Semarang di Situs Punjulharjo tahun 2022 menghasilkan plang-plang wisata untuk penjelasan arah di wilayah situs, merapikan taman, merevitalisasi area sekitar tambak sehingga terlihat bersih dan indah untuk mendukung lokasi sebagai kawasan wisata.
Pengunjung dapat melihat langsung perahu kuno yang sudah dikonservasi itu di tempat ia ditemukan (in situ). Temuan tersebut merupakan temuan perahu kuno yang cukup utuh di Asia Tenggara. Lokasinya sendiri menjadi situs yang dilindungi Undang Undang tentang Cagar Budaya.