Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Restoran Njonja Munsen: Mengamalkan Laudato Si’ dalam Bisnis Kuliner

Saya sungguh tidak menyangka  akan menemukan sebuah restoran yang mau repot dan berbuat lebih demi memelihara lingkungan di Muntilan, sebuah kecamatan  di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.  Kenalan saya  Bagus Priyana, seorang aktifis kebudayaan di Kota Magelang, merekomendasikan Restoran Njonja Munsen sebagai salah satu tempat yang dapat saya kunjungi di “kota” seluas 28,6 kilometer persegi itu.. 

Jalan utama Muntilan memang tidak pernah sepi  karena menjadi lintasan kendaraan antara Yogyakarta dan Semarang tapi ketika masuk ke jalan-jalan di dalamnya, suasana kota kecil baru terasa.  Tidak heran, ketika saya menyambangi Restoran Njonja Munsen untuk makan malam setelah hujan seharian, suasana sekitar seakan sudah larut malam, padahal jarum jam baru menunjukkan pukul delapan.  

Nama Munsen diambil dari nama kawasan Muntilan Sentra Niaga (MunSeN) yang dulunya banyak didapati bangunan kolonial. Bangunan yang ditempati Restoran Njonja Munsen adalah bangunan kolonial yang masih tersisa di kawasan itu. 

Bangunan Kolonial Tropis

Restoran Njonja Munsen, Muntilan, Jawa Tengah

Sepeda motor yang saya tumpangi berhenti tepat di depan restoran yang menempati rumah berarsitektur kolonial untuk wilayah tropis.  Saya seperti disambut dua tiang kayu berbentuk persegi  yang tegak berdiri di teras depan. Tiga pintu kayu dengan lengkung atas berbentuk tapal kuda seakan menyilahkan saya masuk ke dalam. Pintu, jendela, tiang, dan tembok dicat dua warna dominan: hijau tua dan gading yang memberikan kesan cerah. 

Ruang pertama Restoran Njonja Munsen, Muntilan, Jawa Tengah

Melangkah ke dalam saya langsung terkesan dengan tulisan “Menuju Rumah Minim Sampah” di dindingnya.  Jarang-jarang ada restoran yang memasang slogan seperti itu. Di sisi kiri ruangan terdapat rak terbuka  yang berisi beragam wadah mulai dari  gelas, botol minum, rantang, kotak makan, serta wadah penyimpanan lain yang tertata rapi .  Ada juga rak kaca yang tingginya lebih rendah untuk menyimpan sovenir restoran.  Sementara di bagian kanan ruangan ada meja kursi yang disediakan untuk tamu makan. 

Ruang kedua Restoran Njonja Munsen, Muntilan, Jawa Tengah

Masuk ke dalam, saya mendapati ruangan semi terbuka berbentuk bujur sangkar, yang di tengah-tengahnya terdapat ruang terbuka yang ditata sebagai taman kecil. Ruang kedua itu sepertinya menjadi ruang makan utama karena  susunan kursi dan meja lebih banyak lagi. Di bagian muka  ruangan, tertata meja kursi kayu yang dari modelnya mengingatkan saya pada furnitur masa lalu. Sementara itu, di bagian belakang ada semacam meja bar tempat pelayan meracik minuman dan menata makanan sebelum siap dihidangkan. Sayap kiri dan kanan ruangan  ditempati meja kursi yang cukup untuk dua orang. Di sayap kiri ada pintu yang mengarah ke teras luar yang menjadi tempat makan bagi perokok. 

Teras luar Restoran Njonja Munsen, Muntilan, Jawa Tengah

Berjalan lebih  ke belakang di teras luar,  terdapat halaman terbuka yang  dihampari batu-batu kerikil berukuran cukup besar. Ada konstruksi berbentuk lingkaran terbuat dari semen yang dapat dipakai sebagai tempat duduk,  dan di pojok ada ruang terpisah khusus untuk tanaman.

Halaman belakang Restoran Njonja Munsen, Muntilan, Jawa Tengah

Secara keseluruhan, dari depan ke belakang, ruangan restoran memang tidak besar-besar amat, tapi terasa lega dengan penataan yang rapi dan apik. 

Bangunan kolonial tersebut pernah menjadi Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebelum beralih kepemilikan dan ditempati Restoran Njonja Munsen sejak 2023.

Konsep Tanpa Sampah

Sekilas ketika melihat-lihat ruangan di restoran, kesan pertama saya adalah tidak dijumpai tissue  di setiap meja makan dan seluruh ruangan tidak ada pendingin udara (AC).

Restoran Njonja Munsen memang bukan restoran yang biasa-biasa saja dalam menjalankan operasinya sehari-hari.  Sang pemilik, yang biasa dipanggil Ibu Nini–warga Magelang, sejak awal sudah menata restorannya untuk menuju zero waste (tanpa sampah). Untuk itu, manajemen restoran secara suka rela bersedia melakukan banyak pekerjaan ekstra untuk mencapai tujuan tanpa sampah tersebut. 

Yang sangat nyata adalah meniadakan penggunaan tissue di meja makan dan dalam pengoperasiannya. Pertimbangannya, bahan baku tissue berasal dari serat kayu pohon, dan tissue  bersifat sekali pakai. Sebagai alternatif, Restoran menggunakan serbet atau kain lap yang dipilah-pilah berdasarkan  penggunaannya. Ada serbet di meja makan (guest napkin,  ada serbet untuk kain lap yang masih dipilah-pilah lagi: untuk mengelap alat makan, perabot, dan tangan.  Itu baru langkah untuk bersih-bersih.

Serbet untuk beragam penggunaan

Untuk kebutuhan masak-memasak, restoran sudah memiliki penjual khusus yang menyediakan kebutuhan dapur. Para penjual itu ada yang langsung datang, seperti penjual telur,  daging, beras, dan sayur-mayur. Restoran menyediakan wadah kepada mereka sehingga tidak ada penumpukan wadah sekali pakai (sampah) di Restoran. 

Wadah penyimpanan bahan mentah yang dapat dipakai ulang

Bahan-bahan makanan mentah seperti daging  itu pun disimpan di lemari pendingin di dalam wadah  yang terbuat dari semacam silikon yang dapat dibersihkan, dicuci, dan digunakan berkali-kali. 

Komposter untuk sisa makanan dan sayuran

Yang menarik adalah cara pengolahan sampah di Restoran Munsen. Di restoran sudah disediakan tempat sampah berdasarkan jenisnya. Untuk sampah kering (anorganik) ada ruang khusus untuk menyimpan sampah berupa kertas, pecah belah, kaleng, dan plastik yang dapat diolah kembali. Ketika saya melongok ruang tersebut, tampak beberapa media tempat untuk menumbuhkan jamur berjejer. “Nantinya, jamur akan digunakan sebagai bahan masakan,” kata staf dapur yang memandu saya.  “Tidak dapat diingkari bahwa sampah dari luar berupa plastik atau pun tissue masih ada yang masuk,” kata Wahyu, salah seorang staf Restoran Munsen.  Untuk sampah kering daur ulang, Restoran bekerja dengan bank sampah setempat. 

Tempat penyimpanan sampah kering daur ulang

Sementara itu, sampah basah organik seperti sisa makanan dan sayuran langsung dimasukkan ke dalam komposter yang ada di belakang. Restoran Munsen juga sudah bekerja sama dengan beberapa pengepul seperti pengepul kulit telur dan pengepul tulang yang akan mengambil sampah tersebut untuk mereka olah lebih lanjut. 


Restoran juga memiliki kolam ikan air tawar yang hasilnya dapat dipanen untuk kebutuhan hidangan restoran. Di halaman belakang terdapat ruang terpisah yang disebut Rumah Hijau. Di Rumah Hijau terdapat pot-pot yang ditumbuhi tanaman yang dapat dipakai untuk kebutuhan hidangan, di antaranya edible flower (bunga yang bisa dimakan) untuk  hiasan masakan serta dedaunan dan rimpang untuk bumbu masak. 

Tanaman-tanaman yang dapat dipakai untuk keperluan dapur

Selain itu, untuk menjaga kualitas  udara sekitar, di halaman belakang tempat generator listrik telah dipasang cerobong penyaring asap. Sehingga, ketika generator dinyalakan dan mengeluarkan asap, asap tersebut sudah lebih dulu melewati penyaring.

Sabun cuci dari minyak jelantah

Di ruangan cuci, saya melihat sepotong sabun bukan buatan pabrik di atas mesin cuci. “Kami sedang belajar membuat sabun dari minyak jelantah,” Wahyu menambahkan. Untuk itu, Restoran Munsen belajar dari Rumah Inovasi Daur Ulang (RInDU),  Pusat Inovasi Agroteknologi Universitas Gajah Mada untuk pengolahan sampah. 

Laudato Si’

Tentu diperlukan tekad yang kuat untuk mengoperasikan restoran yang ramah lingkungan secara menyeluruh. “Owner kami conscious dengan masalah lingkungan,” Pak Wahyu menjelaskan mengapa Restoran bersedia melakukan banyak pekerjaan ekstra. Pemilik Restoran yang juga pemilik Front One Resort Magelang  prihatin dengan masalah sampah saat ini, lebih dari itu,  beliau terinspirasi dari Laudato Si’.

Laudato Si’ (bahasa Italia) yang berarti Terpujilah Engkau adalah ensiklik (semacam amanat Paus dalam Kristen Katolik) Paus Fransiskus tahun 2015. Ensiklik tersebut terdiri dari beberapa bab  yang secara garis besar berfokus pada lingkungan, permasalahan lingkungan, dan peran manusia pada masa depan lingkungan dan bumi. Ensiklik itu juga berisi ajakan dan seruan untuk melindungi dan menjaga bumi untuk keberlanjutan hidup, lingkungan, dan manusia itu sendiri di muka bumi.  

Pilihan wadah yang dijual untuk pengunjung

Dengan landasan tersebut, pemilik Restoran Njonja Munsen menerapkan konsep Nol Sampah mulai dari diri sendiri dalam hal ini di  lingkup kecil restorannya. Seluruh karyawan juga wajib menerapkan Nol Sampah.  “Mereka membawa bekal makanan dengan wadah sendiri. Jika mereka membeli makanan dengan kemasan, mereka harus bertanggung jawab dengan sampah kemasannya itu,” Pak Wahyu menambahkan.  Untuk menunjang semangat Nol Sampah, dalam perekrutan karyawan, pihak manajemen restoran akan menanyakan kesediaan calon karyawannya akan komitmen  terhadap konsep Nol Sampah sebelum mereka bersedia bergabung. 

Pengenalan konsep Nol Sampah sebagai hal yang cukup baru mendapat beragam sambutan dari tamu yang datang. “Ada yang paham, ada yang biasa-biasa saja, ada pula yang tidak peduli,” kata Pak Wahyu yang bekerja di bagian kasir.  Pendidikan tentang Nol Sampah juga diberikan kepada para karyawan dengan pelatihan sebulan sekali.

Di antara hidangan Restoran Njonja Munsen

Restoran Njonja Munsen yang menyajikan pilihan menu masakan Peranakan, Nusantara, dan Barat dengan harga bersaing menjadi satu-satunya pilihan tempat makan di Muntilan yang menerapkan konsep ramah lingkungan secara menyeluruh. Pengunjung juga diedukasi untuk membawa tempat makan sendiri jika ingin membawa pulang makanannya. Usaha Restoran Njonja Munsen untuk menularkan gaya hidup ramah lingkungan dengan semangat Laudato Si patut diacungi jempol.

Jam Buka: 10.00-22.00

Lokasi: Restoran Njonja Munsen

Leave a Comment