Pusara Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid, atau yang dikenal dengan nama Gus Dur berada di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jalan Irian Jaya, Jombang, Jawa Timur. Pusaranya berada di dalam sebuah kompleks makam keluarga. Di kompleks makam tersebut juga berbaring jasad pendiri Nahdlatul Ulama K.H. Hasyim Asy’ari– kakek dari Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, Menteri Agama RI pertama—ayah Gus Dur, dan K.H. Salahuddin Wahid atau Gus Solah, adik kandung Gus Dur.
Sayang sekali, saya datang sehari sebelum perhelatan haul ke-14 Gus Dur sehingga semua peziarah tidak dapat mendekat ke makam. Para peziarah hanya dapat melantunkan doa kepada tokoh yang amat dihormati itu di luar pagar teralis. Tapi, itu pun tidak menghilangkan kekhidmatan mereka. Peziarah duduk di atas alas tikar yang disediakan pihak makam dan mereka dengan khidmat mendaraskan doa-doa. Terlihat dari jarak beberapa meter, makam Gus Dur yang dipenuhi dengan bunga tabur yang masih segar.
Presiden Abdurrahman Wahid yang lahir di Jombang tanggal 7 September 1940 meninggal pada 30 Desember 2009 di Jakarta. Ia adalah satu-satunya presiden Indonesia yang berstatus sebagai kyai, seorang cerdik pandai dalam agama Islam. Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI pada 1999-2001, ia melakukan beberapa reformasi di pemerintahan yang masih berpengaruh hingga sekarang, di antaranya, pemisahan kelembagaan TNI dan Kepolisian sesuai dengan peran dan fungsinya, menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional, mengakui agama Kong Hu Cu di Indonesia, dan memperkenalkan paham Islam yang inklusif bahwa kemajemukan adalah realitas di Indonesia.
Semasa hidupnya, Gus Dur yang berlatar belakang pendidikan pesantren dikenal dengan humornya yang cerdas dan dapat mencairkan suasana. Ia pun pandai berkomunikasi dengan menggunakan anekdot-anekdot yang mampu membuat lawan bicara atau audiensinya terkekeh-kekeh.
Sebagai seorang yang dilahirkan dari keluarga santri yang terhormat, Gus Dur bukan saja seorang presiden bagi negaranya tapi juga “guru” bagi para pengikutnya yang setia. Hingga hari ini, peziarah dari berbagai penjuru mengunjungi makamnya setiap hari. Benar, makam Gus Dur tidak pernah sepi peziarah. Kunjungan para peziarah itu memberi pengaruh secara ekonomi bagi santri dan warga sekitar pesantren. Di kanan-kiri dari gerbang masuk utama ke kompleks makam terdapat kios-kios yang dikelola oleh para santri. Yang dijual kebanyakan adalah pakaian, pernak-pernik terkait Gus Dur dan Nahdlatul Ulama, dan juga kios buku.
Pedagang kaki lima di sekitar kompleks pesantren mulai bermunculan sejak 2009 ketika orang ramai mengunjungi makam Gus Dur. Pintu masuk ke kompleks makam melewati jalan pemukiman warga yang pekarangannya telah banyak berubah menjadi warung, tempat makan, atau pun lahan parkir motor. Rupanya, warga sekitar tidak mau melewatkan peluang ekonomi yang dapat diraih dari para peziarah yang biasanya datang berombongan.
Di Dusun Seblak Gg III, gang yang menuju lahan parkir mobil diapit dengan warung-warung yang cukup rapat. Sepanjang gang hingga ke lahan parkir mobil mata pengunjung disuguhi dengan aneka kios yang menjual beragam barang dagangan mulai dari pakaian, makanan oleh-oleh, souvenir lokal, buah, hingga mainan anak. Pengunjung juga tidak perlu takut kelaparan atau kehausan sebab tersedia banyak warung yang menyediakan makanan dan minuman dengan harga lokal yang sangat terjangkau. Tidak sedikit warga yang menyediakan tempat tinggalnya sebagai tempat penginapan, musholah, atau pun kamar kecil. Mereka menyasar para peziarah yang datang setiap hari. “Sabtu dan Minggu selalu ramai pengunjung,” kata seorang penjual warung makanan.
Makam Gus Dur kini telah menjadi salah satu tujuan wisata religi dengan pengunjung yang berasal dari seluruh Nusantara. Keberadaan makam membuat ekonomi masyarakat sekitar menggeliat. Hadir atau pun tidak hadir secara raga, Gus Dur telah membawa berkah kepada masyarakat, setidaknya bagi masyarakat yang tinggal dekat pusaranya.