Desa Arjasa di Kecamatan Arjasa, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur, adalah salah satu desa wisata yang dibina Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Desa seluas kurang lebih 636 hektar dan terdiri dari lima dusun tersebut menawarkan seni budaya lokal dan juga peninggalan jejak pra-sejarah kepada wisatawan Nusantara atau pun mancanegara yang ingin menyambanginya.
Peninggalan Prasejarah: Situs Calok
Di balik hamparan persawahan dan tegalannya yang hijau dan luas yang terletak di kaki gunung berapi purba, Gunung Argopuro, Dusun Calok di Desa Arjasa menyimpan peninggalan pra-sejarah yang amat berharga, berupa Situs Batu dari Masa Megalitikum.
Pengunjung harus berjalan kaki menapaki jalan setapak berbatu yang sudah tertata, melewati kebun dan juga beberapa rumah warga dusun untuk mencapai sebuah pelataran persegi panjang berukuran kurang lebih 7 kali 10 meter per segi. Di gerbang pelataran itu tertulis Situs Calok yang menandakan nama dusun tempat lokasi situs batu-batu prasejarah itu berada.
Batu-batu dengan berbagai ukuran dan bentuk terlihat berserakan tapi beraturan di atas tanah merah yang kering. Di pelataran yang dikelilingi tanaman pagar yang rindang tersebut juga didirikan papan-papan penjelasan tentang batu-batu yang menghampar itu. Penataan itu, di antaranya, dikerjakan oleh mahasiswa yang datang ke Desa Arjasa untuk penelitian atau magang.
Menurut Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Arjasa, Sugianto, Situs Calok awalnya untuk penelitian resmi saja. Baru pada tahun 2019, situs dibuka untuk umum. Batu-batu di Situs Calok tersebut diperkirakan berasal dari masa Megalitik. Masa Megalitik atau biasa disebut zaman batu besar adalah periode ketika manusia sudah dapat membangun atau membuat kebudayaan yang terbuat dari batu-batu besar (mega). Kebudayaan ini berkembang dari zaman Neolitikum hingga Perunggu.
Di Situs Calok sendiri terdapat beberapa macam batu sesuai dengan bentuk dan ukurannya seperti batu kenong. Masyarakat lokal menyebutnya batu kenong karena ada tonjolan di atas permukaan batunya yang menyerupai instrumen kenong pada gamelan. Batu kenong adalah batu monolit yang bentuknya seperti telur tapi tidak beraturan dengan satu benjolan di atasnya. Batu kenong dinilai berfungsi sebagai media persembahan arwah atau ruh orang yang telah meninggal dunia. Di Situs Calok ada 18 buah batu kenong.
Selain batu kenong tersebut ada pula sebuah batu menhir, batu monolit yang memanjang. Yang mencolok adalah batu dolmen yang ukurannya terbesar di antara batu-batu lain. Dolmen atau meja batu biasa digunakan untuk meja pemujaan. Selain itu, ada pula punden berundak yang ditemukan masih di wilayah Desa Arjasa.
“Saat ini, ada 157 batu in situ di Desa Arjasa yang berserakan di tengah sawah, tegalan, sungai, atau pekarangan warga. Batu-batu tersebut sudah didata semua dan sudah didaftarkan di Arsip Nasional,” Sugianto menjelaskan.
Batu-batu peninggalan masa prasejarah di Desa Arjasa tersebut seharusnya jumlahnya jauh lebih banyak dari sekarang, tapi setelah Reformasi 1998 banyak terjadi penjarahan besar-besaran terhadap batu-batu tersebut yang kemudian dijual ke pasar gelap. “Tapi, sekarang warga desa sudah sadar, mereka akan melaporkan jika menemukan batu-batu pra-sejarah,” Sugianto menambahkan.
Situs Calok tidak saja memiliki nilai sejarah tapi juga nilai spiritual, setidaknya itulah yang diungkapkan oleh Resi Ida Pandita Nata Putra Siliwangi Manuaba, dari Parisada Hindu Dharma Indonesia ketika mengunjungi Situs Calok pada Mei lalu. Menurutnya, Situs Calok merupakan pasraman pada zamannya yaitu tempat para resi mentransmisikan ilmunya kepada murid-muridnya.
Seakan melengkapi prosesi spiritual umat Hindu, di Desa Arjasa juga terdapat kolam sumber air kahirupan (sendhang tirtha amertha). Kolam air tersebut berada di bawah naungan pohon beringin yang menjulang tinggi. Kolam berair jernih tersebut tidak pernah kering meskipun pada musim kemarau.
Mereka yang menggemari arkeologi atau pun sejarah akan tergelitik dengan berbagai pertanyaan ketika berada di Situs Calok. Penelitian hanya baru pada tahap inventarisasi atau pun pemetaan batu-batu, belum ada kegiatan ekskavasi atau pun konservasi. Terkiat dengan adanya Situs Calok tersebut, Desa Wisata Arjasa saat ini berfokus pada wisata edukasi.
Seni Kreatif: Lukis Bakar
Yang juga menarik dari Desa Arjasa adalah seni lukis bakar atau lebih dikenal dengan nama pirografi. Seni lukis bakar adalah teknik melukis menggunakan solder listrik dengan cara menggoreskannya pada medium kayu, tanpa menggunakan tinta. Reaksi pembakaran antara ujung solder dan kayu akan menimbulkan warna pada kayu yaitu warna sephia, hitam dan putih. Kepiawian seorang pelukis bakar terletak pada kemampuannya membuat goresan arsiran atau pun gradasi warna pada kayu dengan alat semacam solder tersebut.
Di Desa Arjasa baru ada seorang pelukis bakar, Imam Fathoni. Sebelum membuat sebuah pirograf, proses yang ia lakukan adalah membuat sketsa terlebih dulu di medium kayu kemudian membakarnya dengan solder. Kayu yang dipakai bergantung pada jenis gambar yang ingin dihasilkan seperti kayu jati, damar, dan pinus untuk gambar wajah. “Melukis bakar itu tidak dapat dihapus, jika ada kesalahan harus diulang dari awal,” Thoni, nama panggilannya, menjelaskan tingkat kesulitan lukis bakar. “Teknik dasar yang diperlukan adalah kemampuan membuat sketsa dan gambar,” ia menambahkan.
Thoni, hanya menggunakan kayu-kayu limbah yang tidak dipakai yang kemudian ia bersihkan dan poles sehingga layak menjadi medium lukis.
Thoni yang mulai menekuni seni lukis bakar secara komersial awal 2021 lalu, kini sudah menerima pesanan dari luar Jember. Dengan menggunakan brand Thoni Artwork, jasanya telah dipakai oleh banyak petinggi di Kabupaten Jember dan Provinsi Jawa Timur yang ingin agar wajah mereka dilukis dengan teknik pirografi itu. Ia pernah melukis pejabat seperti Menteri Parekraf, Sandiaga Uno. Ia berharap akan banyak pelukis bakar di Desa Arjasa sehingga lebih banyak lagi yang dapat menikmati hasil penjualannya.
Kesenian Lokal Ta’buthaan
Kesenian asli dan tertua Jember ta’buthaan telah menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Kesenian ini mengarak sosok berbentuk boneka seperti ondel-ondel Betawi yang disebut ta’buthaan. Yang membedakan, raut ta’buthaan tampak seram dan kedua tangannya terikat, sementara raut ondel-ondel terlihat ramah dan kedua tangannya dapat digerakkan. Arak-arakan ta’buthaan dilakukan pada saat upacara bersih desa atau kadishah yang dilaksanakan setahun sekali. Tujuan kadishah adalah memohon keselamatan dan keamanan bagi seluruh desa dan warganya. Di Desa Arjasa, upacara kadishah dilakukan bulan Agustus.
Tidak ada referensi tertulis tentang kapan kesenian ta’buthaan pertama kali muncul. Sebab, rujukan hanya diperoleh dari mulut ke mulut atau tradisi lisan. Tradisi ta’buthaan berasal dari Desa Kamal di Kecamatan Arjasa, yang dianggap sebagai desa tertua di utara Jember. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa tradisi tersebut berasal dari abad ke-18 ketika terjadi paceklik akibat serangan hama selama enam tahun berturut-turut di Desa Kamal. Pada tahun keenam paceklik terjadi keajaiban, sepasang suami isteri menari-nari mengeliling desa dengan tangat terikat di pinggang sambil diiringi suara pukulan lesung untuk menumbuk padi. Setelah kejadian itu, paceklik pun perlahan-lahan pergi dan keadaan kembali seperti sedia kala. Sejak itu untuk menghindari paceklik yang berkepanjangan, Ki Samba, seorang warga desa membuat sepasang boneka ta’buthaan sebagai simbol untuk bersih-bersih desa setelah panen raya.
Bagi Pak Rus pelaku kesenian ta’buthaan di Desa Arjasa, tradisi ta’buthaan adalah untuk mengusir wabah yang disimbolkan sebagai raksasa. Sebelum arak-arakan ta’buthaan, ada ritual yang dilakukan seperti menyediakan makanan sebagai sesajian, pembacaan doa, penguburan sisa ceker, kepala, dan sayap hidangan ayam/ingkung sebagai penangkal datangnya raksasa (baca: wabah), serta penaburan beras kuning untuk mengusir sang raksasa.
Menurut Wasi’a, Kepala Desa Arjasa, ta’buthaan ada yang kecil untuk acara hiburan rakyat dan yang besar untuk upacara ritual seperti kadashih.
Paket Wisata Desa Arjasa
Desa Arjasa berkomitmen untuk memberikan wisata edukasi kepada wisatawan yang datang ke desa mereka yang hijau dan dirimbuni pepohonan dan kebun. Paket-paket wisata yang ditawarkan adalah yang mempromosikan kearifan lokal dan menguatkan masyarakat lokal, utamanya dari sisi kebudayaan dan ekonomi. Karena itu, paket wisata edukasi yang ditawarkan kepada pengujung adalah yang berbasis masyarakat. Mereka yang ingin merasakan dan mengetahui lebih banyak tentang seni budaya Jember khususnya di Desa Arjasa dapat memilih paket wisata sesuai dengan minat mereka.
Kunjungan ke lokasi difasilitasi oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jember.