Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Rumah Plastik Buleleng, Bali: Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Suara mesin yang melengking dan sesekali terputus melatari perbincangan saya dengan Putu Eka Darmawan, pendiri Rumah Plastik di Buleleng, Bali, dan rekannya Narayana. Saya mengunjungi bengkel Rumah Plastik, tempat pembuatan papan dari daur ulang sampah plastik, itu pada suatu sore bulan Agustus lalu.


Rumah Plastik adalah brand yang diciptakan oleh Putu Eka Darmawan untuk dua usahanya, yaitu bank sampah induk yang terletak Jalan Candi Kuning, Banjar Dinas Pondok, Desa Petandakan, Buleleng, dan bengkel produksi papan dari daur ulang sampah plastik yang berada di Jalan Timor.

Penghargaan Bank Sampah Induk

Pada bulan Juli 2024, Bank Sampah Induk (BSI) Rumah Plastik yang didirikan oleh pria asal Buleleng itu menerima penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai bank sampah induk terbaik kedua tingkat nasional atas upayanya mengurangi sampah. Dari 12 indikator penilaian standarisasi bank sampah, hanya satu indikator yang tidak dipenuhi oleh BSI Rumah Plastik, yaitu pengelolaan sampah organik.

Penghargaan untuk BSI Rumah Plastik dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menurut Eka, tidak terlepas dari pemberitaan BBC Indonesia sebelumnya tentang Rumah Plastik. Sebab, untuk terpilih menjadi nominasi penerima penghargaan tingkat nasional harus direkomendasikan oleh Kabupaten dulu, sebelum dipilih oleh Provinsi.


Bank Sampah Induk (BSI) Rumah Plastik merupakan satu dari dua bank sampah induk yang ada di Kabupaten Buleleng. Eka mendirikan BSI Rumah Plastik setelah ia berhenti bekerja dari kapal pesiar Carnival Cruise dan memutuskan pulang ke Tanah Air tahun 2016. Di kapal pesiar itu, ia juga mendapat ilmu tentang pemilahan sampah.


Awalnya, Eka hanya mengumpulkan sampah plastik yang kemudian dijual ke Pulau Jawa. Dengan skema bank sampah, Eka mulai mendalami pendidikan, pemberdayaan, dan inovasi. Ia menghabiskan seluruh uang tabungannya untuk mendirikan bank sampah Rumah Plastik. Bank Sampah Induk Rumah Plastik menerima sampah dari bank-bank sampah yang ada di wilayah Buleleng. Sampah-sampah plastik yang terkumpul akan dipilah dan ditimbang. Sebelum dijual ke industri daur ulang sampah plastik, sampah-sampah tersebut dipilah sebanyak tiga kali, kemudian dikemas.

Sampai tahap itu, sampah plastik hanya diperhitungkan sebagai sampah plastik yang sudah dipilah. “Harga sampah plastik di Bali murah, sedangkan ongkos angkutnya ke Pulau Jawa mahal, dan harga jualnya pun fluktuatif” ujar lulusan Universitas Pendidikan Ganesha, Buleleng, itu. Alasan itulah yang membuat Eka berpikir untuk melakukan proses hilirisasi sendiri untuk produk daur ulang sampah plastik. Sehingga, ia tidak bersandar pada industri daur ulang sampah plastik di Pulau Jawa untuk menampung sampah plastiknya.


Modal Sendiri, Kerja Sendiri


Eka ingin agar sampah plastik yang dikumpulkan itu memiliki nilai lebih tinggi. Untuk itu, perlu ada pengolahan lanjutan dengan mengolah sampah plastik menjadi suatu produk (upcycling). Eka memerlukan mesin seperti alat pencacah, mesin pengering, dan pelebur. Namun, semua itu membutuhkan biaya, sementara ia tidak memiliki dana; tidak ada cara lain bagi Eka kecuali melakukan banyak eksplorasi sendiri.

Merakit mesin sendiri di bengkel Rumah Plastik

Melalui youtube, Eka mempelajari cara kerja mesin pencacah plastik, dan dengan kejeliannya ia membuat mesin dengan cara merakit sendiri, dengan bantuan tukang tentunya. Usaha itu jatuh-bangun, setelah beberapa lama, akhirnya ia dapat memiliki mesin pencacah plastik hasil rakitan sendiri.

Bengkel tempat pembuatan papan plastik di Jalan Timor itu menempati tanah pribadinya, yang merangkap kantor, di situ juga Eka menerima tamu, di tengah kebisingan mesin produksi. “Ini satu-satunya usaha mandiri berdasarkan ekonomi sirkuler,” katanya menjelaskan.

Kantor yang bersebelahan dengan bengkel Rumah Plastik

Bisa dibilang Eka seratus persen mandiri dalam mendirikan, mengadakan, dan mengoperasikan kedua usahanya itu. “Tidak ada anggaran khusus, tidak ada donasi atau dana dari mana pun, dan tidak ada sponsor,” tambahnya lagi. Eka bahkan menggadaikan sertifikat tanahnya di bank sebagai jaminan untuk membuka bengkel produksi papan plastik.


Rumah Plastik Memberi Kehidupan

Eka bersyukur dengan proses hilirisasi yang ia lakukan. Sebab, ia dapat memenuhi tanggung jawab sosial melalui bank sampah induknya dan menjalankan usaha dengan kegiatan upcycling-nya. Cukup banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada kedua usaha yang dikelola pria berusia 34 tahun itu. Saat ini, Bengkel Rumah Plastik mempekerjakan 13 tenaga lepas yang bekerja dari pukul 8 pagi hingga 5 sore setiap hari kecuali Hari Minggu. Dengan mesin-mesin hasil rakitan sendiri berupa tiga alat pencacah, 1 mesin pengering cacahan, 1 blower, dan 1 mesin pelebur, bengkel Rumah Plastik telah memproduksi papan plastik yang dapat dipakai sebagai alternatif dari bahan kayu.

Papan plastik daur ulang sampah plastik

Satu bilah papan plastik itu memiliki dimensi 1x 0,5 meter persegi. Satu bilah dibandrol Rp 450.000. Papan plastik yang memiliki beragam warna itu dapat diolah menjadi berbagai produk seperti perabot, mebel, partisi, atau asesori lain. Pembeli dari luar negeri seperti Jepang juga sudah ada yang memesan. “Kami juga menerima pesanan pembuatan mebel dari papan plastik,” kata Eka lagi.

Beragam produk upcycling sampah plastik

“Namun, tidak semua plastik punya nilai. Kemasan sachet multilayer yang produksinya banyak dan paling mahal secara industri justru tidak ada harganya,” Narayana yang baru bergabung selama 8 bulan di Rumah Plastik menjelaskan. Eka juga mengakui bahwa Rumah Plastik belum mampu menyerap semua sampah plastik yang dikumpulkan dari bank sampah induk miliknya. “Baru 30 persen yang dapat kami serap untuk didaur ulang, sisanya dilempar ke industri,” ujarnya. Di samping dapat dibuat menjadi papan plastik, sampah plastik yang sudah dalam bentuk cacahan dengan campuran bahan lain dapat dijadikan bahan untuk mengaspal jalan. Buleleng sudah melakukan pengaspalan jalan sepanjang 9 kilometer dengan memakai sampah plastik di jalan masuk ke Pura Segara Rupek, Buleleng.

Cacahan sampah plastik

Ketika ditanya mengapa ia berfokus pada sampah plastik. Bagi Eka, di Pulau Bali, sampah besi, kertas, dan kardus sudah diselesaikan oleh para pemulung. Sementara itu, masalah sampah organik tidak segenting sampah plastik. Menurutnya, masyarakat Bali yang tidak tinggal di perkotaan secara tradisional sudah punya cara sendiri untuk menangani sampah organik mereka. Umumnya, rumah-rumah mereka memiliki pekarangan luas di belakang rumah yang ditanami dengan berbagai tanaman untuk keperluan sehari-hari yang disebut teba. Di teba itulah sampah organik biasa dibuang dan menjadi kompos untuk tanaman di sekitarnya. Sisa-sisa makanan biasanya diberikan ke hewan peliharaan seperti ayam atau pun babi. Singkatnya, di masyarakat tradisional bukan perkotaan, masalah sampah organik sudah selesai. “Namun, di pemukiman perkotaan sekarang, mindset masyarakat diubah, tempat sampah ditempatkan di muka rumah, secara estetika, itu menjadi kacau,” Eka menjelaskan.


Yang Penting Bertahan


Eka dan Narayana tidak terlalu risau apabila ada sampah plastik dalam jumlah yang amat banyak harus diserap (baca: diolah). Hal tersebut dapat diatasi jika ada mesin khusus dengan kapasitas penyerapan sampah sebanyak 2 ton yang secara automatis menghasilkan 200 lembar papan plastik per hari. Akan tetapi, harganya yang mahal menghalangi Rumah Plastik untuk mengadakannya. Meskipun mereka mengimpikan untuk memiliki mesin seharga Rp 700 juta itu, Eka dan Narayana cukup bangga dengan mesin yang ada sekarang yang kemampuannya terbatas. Modelnya yang berupa rakitan menjadikan mesin-mesin di bengkel Rumah Plastik itu dapat ditiru oleh pihak lain yang mau membuatnya.

Mesin hasil rakitan sendiri di bengkel Rumah Plastik

Dengan keterbatasan alat dan dana, Eka dan timnya memberikan contoh bahwa apa pun dapat dilakukan jika ada kemauan dan usaha sungguh-sungguh. Karena itu, ia bersedia untuk membagikan ilmu dan pengetahuannya tentang pengolahan sampah plastik atau pun mengadakan kemitraan. Eka mengakui tidak jarang ada yang datang untuk memintanya menyelesaikan atau mengurus masalah sampah plastik di suatu tempat. Namun, ia enggan untuk meladeni permintaan seperti itu. “Mereka perlu tahu permasalahan mereka dan belajar menyelesaikannya. Saya hanya membantu.” Eka tidak dapat meninggalkan dan mengabaikan dua usaha yang sudah dirintisnya. “Saya ada orang-orang yang perlu saya kasih makan,” katanya lagi.

Pengunjung Rumah Plastik

Sebagai orang yang sudah cukup lama bekerja dalam menangani sampah, Eka punya pemikiran terhadap cara menangani sampah di kota besar yang kompleks. Sampah plastik itu berasal dari industri. “Industri harus dilawan dengan industri juga,” kata Eka dengan penuh keyakinan. “(Kota besar) harus ada recycling facility. Warga perlu membayar ketika membuang sampahnya. Masalah sampah tetap ada karena tidak ada yang berinvestasi di situ, “tambahnya.

Contoh produk dari papan plastik daur ulang

Eka tidak dapat mengandalkan usaha daur ulang sampah plastik sepenuhnya. Situasi dunia yang tidak menentu, seperti Perang Russia-Ukraina mempengaruhi usahanya. Sebab, pasar untuk produk daur ulang sampah plastik terbanyak di Eropa. Jauh dari hiruk-pikuk pariwisata di selatan Bali, Eka berharap bahwa produknya dapat dipakai oleh usaha penginapan atau rumah makan untuk dijadikan perabot atau pun mebel. Ia juga berencana membangun kerja sama dengan desainer interior untuk mengangkat papan plastik produksinya.

Bersama Putu Eka Darmawan (kiri) dan Narayana (kanan) di bengkel Rumah Plastik

Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, bersama Rumah Plastiknya Eka tetap konsisten dengan langkahnya melakukan hilirisasi produk daur ulang sampah plastik. “Yang terpenting bagi kami adalah tetap bertahan.”

Leave a Comment