Bagian 2: Kelud yang Disucikan
Tanggal 13 Februari, 2014, menjelang pukul 11 malam, Gunung Kelud yang terletak di perbatasan Kabupaten Blitar dan Kediri, Jawa Timur, mengeluarkan suara gemuruh kuat. Dentumannya yang sangat keras menggelegar, terdengar hingga Kota Kediri yang berjarak 45 kilometer dari gunung api tersebut. Ya, Gunung Kelud meletus. Letusannya pun mengeluarkan gumpalan raksasa awan abu yang berarak ke arah barat melintasi Pulau Jawa sampai wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat dan ke arah timur mencapai Kota Surabaya. Hampir seluruh Pulau Jawa diguyur debu vulkanik yang menyebabkan bandara di tujuh kota terpaksa menghentikan operasinya untuk sementara. Banyak penumpang pesawat terlantar. Gumpalan awan abu yang membumbung setinggi 17 kilometer itu juga melintasi Samudera Hindia hingga mencapai Benua Australia yang membuat penerbangan pesawat di sana juga terhambat. Di sekitar Gunung Kelud beberapa daerah dilanda hujan batu, kerikil, dan pasir disertai aliran lahar dingin yang merusak pemukiman, lahan pertanian, perkebunan, dan hutan. Akibat letusan Gunung Kelud itu, empat orang meninggal dunia dan ratusan ribu orang diungsikan. Harian Bisnis Indonesia mencatat kerugian ekonomi akibat letusan Gunung Kelud diperkirakan Rp 1,2 triliun.
Begitulah gambaran yang diakibatkan oleh letusan Gunung Api Kelud yang terjadi hampir sepuluh tahun lalu itu. Hati saya pun sedikit berdebar ketika hendak mengunjungi danau kawah gunung api yang sudah aktif sejak tahun 1000 itu. Lebih-lebih, setelah saya mengetahui sejarah letusannya yang mengharu-biru.
Dari Candi Penataran di Kabupaten Blitar, mobil yang saya tumpangi melaju di bawah mendung yang menggantung. Begitu memasuki Kabupaten Kediri, hujan pun turun. Mobil kami melalui jalan pintas bebatuan di tengah-tengah perkebunan. Saya membatin agar hujan dapat segera reda sehingga impian saya untuk melihat danau kawah Gunung Api Kelud dapat terlaksana.
Dataran tinggi kawasan perbukitan di Kabupaten Kediri, pemandangannya sangat menyegarkan mata. Di bawah langit kelabu, tanah sepanjang jalan tertutup dengan kebun nanas yang menghampar luas. Selain itu, ada pula pohon-pohon kayu keras. Saya tidak lagi melihat perkampungan, hanya perkebunan, pepohonan, dan beberapa rumah penduduk. Jelas sekali bahwa tanah di kawasan tersebut sangat subur.
Untungnya hujan sedikit mereda. Saya pun tidak mau melewatkan udara sejuk pegunungan. Saya membuka kaca jendela mobil, dan woosh…udara segar pun menerpa wajah saya.
Sepanjang perjalanan, langit gelap dan hujan pun tidak menentu, di satu wilayah ia turun deras, begitu berpindah ke wilayah lain, ia mereda. Saya berharap-harap cemas. Menjelang pukul tiga sore mobil sudah sampai di Gerbang Kawasan Wisata Kawah Gunung Kelud, saya lega, karena tiba sebelum gerbang ditutup pukul empat sore. Tidak jauh dari gerbang ada gedung dengan tulisan Museum Gunung Kelud. Kepada penjaga gerbang, saya mengutarakan keinginan untuk melihat museum tersebut. Sang petugas pun bersedia menemani dan membukakan pintu gedung. Sepertinya, museum bersifat musiman, hanya dibuka jika ada pengunjung.
Di dalam museum ada sebuah ruang besar. Jika ada rombongan yang datang dan meminta diputarkan film tentang Gunung Kelud biasanya ruangan itu dijadikan auditorium, kata petugas yang menemani saya. Di ruang sebelahnya terdapat foto-foto yang dipajang di dinding yang menggambarkan tentang sejarah Gunung Kelud. Dahsyat niat letusan-letusan Gunung Kelud yang tertangkap lensa kamera.
Gunung Kelud dalam Nagarakrtagama dan Legenda
Tahun Masa Memanah Surya, beliau (Hayam Wuruk) lahir untuk menjadi narpati (raja).
Selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran gempa bumi,
Kepul asap, hujan abu, guruh, dan halilintar menyambar -nyambar…
Gunung Kampud bergemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari Negara…
(Kitab Kakawin Nagarakrtagama, Pupuh I/4)
Kalimat di atas tertera dalam Kitab Kakawin Nagarakrtagama, mahakarya Empu Prapanca pujangga yang hidup pada abad ke-14 yang menulis tentang Kerajaan Majapahit. Gunung Kelud demikian disakralkan sehingga, oleh Prapanca, letusannya dipandang sebagai tanda bagi kelahiran seorang raja (di Majapahit) dan pembersihan Majapahit dari segala hal yang berbau negatif. Mungkin itulah catatan tertua tentang Gunung Kelud pada lontar Nagarakrtagama.
Pada abad ke-11-12, di Jawa Timur berdiri Kerajaan Hindu-Buddha yang bernama Janggala yang membentang dari Mojokerto hingga Banyuwangi. Menurut legenda, Putri mahkotanya, Dewi Kilisuci, dilamar dua raja: yang berkepala lembu bernama Raja Lembu Suro, dan, yang berkepala kerbau bernama Raja Mahesa Suro.
Untuk menolak lamaran mereka, Dewi Kilisuci membuat sayembara yaitu meminta mereka untuk membuat sumur di puncak Gunung Kelud. Sang Dewi mensyaratkan bahwa harus ada dua sumur, yang berbau amis dan berbau wangi, dan kedua sumur harus selesai sebelum ayam berkokok.
Raja Lembu Suro dan Raja Mahesa Suro berhasil menyelesaikan tantangan itu. Karena tidak mau dipersunting, Dewi Kilisuci mengajukan persyaratan lain. Kedua raja tersebut harus dapat memastikan bahwa sumur itu memang berbau amis dan wangi dengan cara masuk ke dalam lubang sumur. Mereka pun melakukannya. Ketika kedua raja itu berada di dalam sumur, Dewi Kilisuci memerintahkan para prajuritnya untuk menimbun sumur dengan batu. Kedua raja itu pun meregang nyawa, tapi Raja Lembu Suro sempat mengeluarkan sumpah sebelum mati: “Yoh, Wong Kediri sesuk bakal nemu piwalesku, Kediri bakal dadi Kali, Tulungagung dadi Kedhung, Blitar dadi latar (Kediri akan menjadi sungai, Blitar menjadi daratan, dan Tulungagung menjadi danau).
Masyarakat lokal, utamanya di Ngancar, Kabupaten Kediri, meyakini Sumpah Lembu Suro tersebut. Setiap tanggal 1 Suro pada kalendar Jawa, mereka mengadakan Larung Sesaji Gunung Kelud dengan tujuan menolak bala Sumpah Lembu Suro, menghormati penguasa Gunung Kelud, dan tentu saja bersyukur atas berkah yang diberikan Gunung Kelud dengan kesuburan tanah di kawasan gunung. Seperti diungkapkan oleh Cecep Eka Permana, dari Departemen Arkeologi, Universitas Indonesia pada Webinar Letusan Gunung Kelud dan Peradaban di Sekitarnya tahun 2023.
Upacara larung sesaji diinisiasi Bupati Kediri sejak 1994. Pada upacara itu, sesaji akan diarak menuju kawah, juru kunci Gunung Kelud akan melakukan ritual. Setelah itu, salah seorang akan turun ke tengah kawah untuk melarung sesaji. Sebagian besar sesaji akan dibagikan ke warga untuk dinikmati bersama-sama.
Gunung Kelud memiliki ketinggian 1731 mdpl. Menurut Oktory Prambada dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dalam Webinar Letusan, sejarah mencatat bahwa Gunung Kelud sudah meletus sebanyak 41 kali, dengan letusan terakhir pada 2014.
Letusan terbesar Gunung Kelud terjadi pada 1919 yang mengambil 5160 nyawa. Letusan tersebut adalah salah satu letusan gunung api yang paling mematikan pada abad ke-20. Letusan pada 1990 berlangsung selama 45 hari. Letusan itu tidak saja melontarkan 57,3 juta meter kubik debu vulkanik tapi juga lahar dingin yang menyebar sepajang 24 kilometer dari danau kawah dan 11 sungai yang mengalir dari pegunungan. Sejak abad ke 15, lebih dari 15.000 nyawa melayang karena letusan Gunung Kelud.
Dalam vulkanologi, Gunung Kelud termasuk gunung api tipe kerucut (stratovolcano)) yang berarti mudah meletus. Secara geologi Gunung Kelud terbentuk akibat proses tumbukan (subdiksi) lempeng benua Indo-Australia terhadap lempeng benua Eurasia, dimana lempeng yang lebih tebal menunjam ke bawah lempeng yang lebih tipis sehingga terjadi pengangkatan lempeng (berbentuk gunung).
Berkah Gunung Kelud
Dalam bahasa Jawa, kelud berarti sapu. Selama ribuan tahun Gunung Api Kelud sudah memuntahkan debu-debu vulkanik dan juga lahar ke wilayah sekitarnya. Hal tersebut membawa berkah di daerah sekitar Gunung Kelud dalam bentuk kesuburan tanahnya yang luar biasa. Tanah di sekitar Gunung Kelud dapat ditanami berbagai tanaman pangan seperti tebu, singkong, jagung, dan kopi, serta tanaman keras yang bermanfaat bagi warga. Tidak heran, pusat-pusat peradaban berdiri di sekitar Gunung Kelud. Hingga sekarang, Kabupaten Kediri dikenal sebagai penghasil sayur-mayur, buah-buahan, dan tanaman keras lain.
Selesai melihat foto-foto di dinding, saya kembali ke mobil di tengah gerimis hujan. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju kawah. Ada cerita menarik tentang letusan Gunung Kelud tahun 2014, pengemudi yang mengantarkan saya, Deste, warga Blitar, menceritakan bahwa Kota Blitar tidak diguyur debu vulkanik yang parah ketika itu. “Awan debunya seperti lewat saja di atas Blitar,” katanya mengenang.
Jarak antara Gerbang Kawasan Wisata Gunung Kelud ke pelataran parkir menuju danau kawah Gunung Kelud sekitar enam kilometer. Sepanjang jalan, saya hanya melihat pepohonan hijau serta perbukitan. Dalam perjalanan, saya melihat tanda “jalan misteri”. Di sepanjang ruas 100 meter itu, pengemudi diminta untuk menetralkan persneling mobil dan menarik rem tangan. Dalam kondisi seperti itu, mobil tetap dapat melaju meskipun jalan menanjak. Fenomena jalan misteri ini belum ada yang meneliti, sehingga masih terkesan mistis. Deste sudah tahu benar medan di sana, sehingga ia tetap dapat mengendalikan kendaraan.
Indahnya Danau Kawah Gunung Kelud
Pelataran parkir mobil terlihat ramai, cukup banyak mobil yang diparkir. Pelataran itu dikelilingi dengan warung-warung yang berjualan minuman, jajanan, dan makanan ringan. Hujan sudah turun, saya pun segera menghampiri pos ojek pangkalan yang khusus mengangkut penumpang ke tepi danau kawah. Setiap pengunjung membayar Rp 40.000 untuk tiket perjalanan bolak-balik. Penumpang dapat menumpangi ojek yang berbeda ketika kembali dengan menunjukan tiket yang diberikan.
Saya pun diboncengi di bawah guyuran hujan yang cukup lebat. Perjalanan di sepanjang jalan beraspal yang mendaki di tengah hujan itu cukup menantang. Jalan menanjang cukup terjal. Tapi, pengemudi adalah seorang profesional yang sehari-hari pekerjaannya mengemudi turun-naik mengantarkan para tamu. Suasana perjalanan terasa magis. Kiri-kanan jalan yang saya lalui yang sedianya indah tertutup kabut tebal.
Kami melewati pos jaga 1, pos pertama buat pendaki, terlihat beberapa orang sedang mengaso di sana. Ternyata, tidak semua ruas jalan mulus, ada pula yang sudah agak rusak sehingga ban motor harus melalui jalan berbatu-batu dan kerikil. Hanya pengemudi profesional yang dapat melaluinya dengan baik. Hujan semakin deras dan tidak ada tanda-tanda akan reda. Motor melalui terowongan yang cukup panjang lalu tibalah di sebuah pos kecil dekat kawah. Di sana sudah ada beberapa pengunjung yang juga berlindung dari hujan di bawah terpal. Akhirnya, tiba juga saya dari perjalanan yang cukup menegangkan.
Udara sejuk dan segar langsung terasa. Danau Kawah Gunung Kelud yang berwarna hijau toska tampak tenang. Danau kawah terlihat anggun dikelilingi bukit-bukit yang ditutupi kabut putih. Danau kawah yang terbentuk pasca letusan pada 2014 itu dikelilingi tiga puncak yaitu Puncak Gunung Kelud, Tebing Sumbing Gunung Kelud, dan Pegunungan Gajahmungkur. Indah sekali suasananya, sayang, puncak-puncak itu semua terbalut awan kelabu. Saya membayangkan bila langit cerah, tentu pemandangan jauh lebih indah lagi. Hujan sedikit mereda, saya pun menyempatkan melongok danau kawah dari bibirnya yang dipagari. Memang indah. Pengunjung dilarang untuk turun ke kawah.
Lalu, bersama pengunjung lain saya menunggu di tengah hujan yang kembali mengguyur. Guyuran hujan lebat menghalangi kami untuk melihat-lihat tebing di sekitarnya. Setelah hampir setengah jam memandang langit mendung di sekitar kawah, kami memutuskan untuk kembali ke parkiran sebab tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Saya kembali diboncengi motor di tengah hujan, sekitar 20 menit berkendara kami sampai ke parkiran motor dan saya segera mencari tempat berteduh di warung.
Gunung Api Kelud dengan segala legenda dan sejarah letusannya yang penuh duka menjadikannya sebagai gunung api yang disucikan dan juga disegani. Sebuah kompleks candi pun dibangun untuk menahan mara bahaya letusan Gunung Kelud…(bersambung)